Selasa, 29 Maret 2011

AIR

Awalnya seluruh bumi duliputi air (jutaan tahun), lalu Khalik Semesta Alam menciptakan matahari, bulan dan bintang. Selanjutnya air (asin) dan daratan dipisahkan, lalu karena panas terik matahari air (laut) menguap keudara sampai batas dimana uap (gas) air menjadi jutaan titik-titik es yang berubah menjadi air (tawar) dan jatuh kebumi (daratan dan lautan), daratan tandus kering kerontang berubah menjadi kantong-kantong tempat penampungan air yang menyuburkan tanah darat. Persediaan air yang berkecukupan memungkinkan adanya kehidupan dimulai dari tumbuhan (flora) berlanjut pada hayati (fauna). Para ilmuan berteori bahwa kehidupan berawal dari sel yang berevolusi dan bermutasi jutaan tahun yang lalu sehingga menjadi sempurna sebagaimana adanya saat ini. Apapun pendapat para penelti (ahli) tentang awal dari kehidupan, yang jelas kehidupan itu dapat berlangsung bila ada air, panas, gas (O2) dan tanah.
Pada topik ini yang dibahas terbatas pada air, karena air sangat dibutuhkan oleh manusia, hewan dan tumbuhan guna melanjutkan generasi kehidupannya.

Sebelum revolusi industri di Inggris dan ditemukannya teknologi tinggi di amerika serikat (listrik, mesin uap, mesin diesel/bensin dan pesawat terbang) air bersih ditemukan berlimpah di tanah daratan ( asia, eropah, amerika, afrika dan Australia). Kemajuan teknologi dan pertumbuhan manusia di bumi meningkat ekstrim (setelah perang dunia ke 2), sebagai penyebab berubahnya perilaku manusia. Kalau tadinya manusia dalam melangsungkan kehidupannya lebih banyak mengandalkan pengolahan tanah, berubah pada usaha industry pabrikasi dan jasa-jasa dengan mengandalakan penguasaan modal dan technology. Perubahan pola usaha produksi yang tadinya bersekala menengah rendah ke produksi massal menyebabkan perilaku para pengusaha, karyawan, pegawai birokrasi dan pejabat Negara cenderung berubah konsumtif dan tamak. Itu ditandai dengan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Tambang dibuka dimana-mana mulai dari pengeboran minyak bumi dekat pantai, lepas pantai, penggalian tambang untuk mendapatkan batu bara (coal), emas, perak, nikel, aluminium, biji besi, intan/berlian, crom, uranium dan sebagainya. Selain itu hutan dihabisi katanya untuk kebutuhan bahan baku kertas, perabotan rumah tangga, untuk rumah manusia dan hewan (istal). Akibat dari rusaknya hutan lindung dan hutan primer ditambah lagi dengan bertumbuhnya industry pabrikasi tanpa pemetaan yang kongkrit (negara sedang berkembang) menyebabkan suasana kota menjadi samrawut.

Kerusakan lingkungan mulai dari hulu sampai ke hilir, penataan kota yang tidak terencana mendatangkan dampak negatif nerupa bencana, bila musim hujan tiba kota menjadi banjir karena laju air dari hulu ke hilir bagaiken air bah melintas jalan tol bebas hambatan melaju menggempur kota dan desa. Akibatbatnya kerugian dimana-mana, kota menjadi macet, jalan raya cepat rusak, t, produktivitas turun, di desa tanaman pangan rusak total terendam air, rumah penduduk rusak total di gempur banjir bandang yang mengirim material kayu gelondongan dari hulu.

Pada musim kemarau, fungsi air bersih sangat dominan karena persediaan air sangat terbatas akibat kerusakan hutan total, pemerintah berusaha membangun waduk tempat penampungan air yang berfungsi untuk mengairi sawah rakyat dan sebagai persediaan air minum pada musimnya karena air sungai sudah mulai menipis (surut) dan kotor tercemar limbah pabrik dan kotoran manusia. Kota besar yang padat penduduk menetap dan penduduk musiman (urban) juga mengalami kesulitan mendapat air bersih, air bersih yang sebenarnya tidak bersih menjadi mahal, diperjual belikan dengan harga mencengangkan rakyat berasal dari Sukabumi, karena 1 drum air dapat dihargai sampai dua puluh ribu rupiah khusus di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, golongan menengah bawah dan golongan menengah tengah mampu berlangganan air bersih dari perusahaan air minum pemda ibukota daerah khusus Jakarta.

Entah karena mesin-mesin pengolah air bersihnya yang telah tua (warisan orde baru) atau karena management pengelola (kepengusahaannya) gonta ganti yang membuat air bersih Jakarta Barat dan Jakarta Utara nyatanya tidak pernah bersih. Kalau pun air pam yang kotor itu dibeli rakyat dengan harga relative mahal karena kebutuhan tidak ada pilihan lain. Untuk keperluan air minum dan memasak sayuran, rakyat terpaksa merogoh koceknya untuk membeli air bersih dari para penjaja air minum, penjual minuman air mineral imitasi dengan harga lima ribu rupiah pergalon (satu gallon Sembilan belas liter). Di Jakarta yang namanya air bersih (air minum) dan air mineral mahal karena persediaan sumber air dari sungai Ciliung dan kali malang sudah sangat kotor dan tercemar polusi limbah pabrik dan limbah ulah manusia padahal manusia sangat butuh air untuk hidupnya tanpa air manusia akan mati.

Selasa, 15 Maret 2011

PUNGUTAN LIAR

Pungutan liar popular ditelinga masyarakat Indonesia dimulai sejak pemerintahan Rejim Orde Baru atau lebih kurang setelah tahun 1975. Perubahan prilaku pemegang kekuasaan (birokrasi) ini terjadi karena ulah dari pengusaha tidak jujur untuk mendapatkan proyek (pengadaan barang, pekerjaan konstrusi dan pekerjaan pembangunan jalan raya) dengan segala cara termasuk memberi sejumlah uang kepada pejabat Negara (KKN). Cara pengusah yang tidak terpuji itu, dimanfaatkan oleh pejabat tingkat bawah sampai pelaksana di birokrasi dan BUMN/BUMD untuk mendapatkan tambahan (pungutan liar) uang dari gaji yang diterima relative kecil pada waktu itu. Perilaku menyimpang dari tingkat pejabat menengah bawah sampai pelaksana ini dibiarkan menjalar kemanamana mulai dari kantor camat, kantor lurah, kantor wilayah Dep. Perdagangan, Kantor Dep. Kehakiman, Kantor Dirjen Perla, Kantor Adpel dan Kantor Syahbandar pada waktu itu.
Era reformasi bergulir pemerintah Rejim Orde Baru dilengserkan diganti Pemerintah Reformasi yang di Nakhodai Gusdur, perilaku menyimpang doyan menerima uang suap dan pungutan liar terus menggejala. Untuk menyingkirkan penyakit masyarakat yang sudah mengakar ini, pemerintahan Ibu Megawati Soekarno Putri mencoba menangkalnya dengan membidani lahirnya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) agar penyakit KKN dan Pungutan Liar dapat dimusnahkan dari Indonesia minimal ruang geraknya dipersempit. Awalnya upaya itu berhasil dan diwaspadai oleh para pengusaha nakal dan pejabat doyan uang itu ditandai dengan banyaknya kasus KKN berakhir di penjara. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono Jilid Satu tahun 2004 sampai tahun 2009 pendekar Penegak Hukum KPK disegani oleh pejabat bersih dan ditakuti oleh para Pejabat Nakal dan pengusaha hitam (istilah Kwiek Khian Ge) pada waktu itu. Departemen Keuangan dibawah kepemimpinan Doktor Sri Mulyani di reformasi, sistim diperbaiki, cara pemberdayaan sumber daya menusia disempurnakan, penegakan hukum dilaksanakan dengan tegas itu ditandai dengan penangkapan beberapa pejabat Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok oleh KPK.
Ketika Doktor Sri Mulyani akan membenahi Direktorat Jenderal Pajak yang dipimpinnya, beliau terjebak pada kasus Bank Century yang bergejolak pada waktu itu. Dengan hati yang berat dan tertekan beliau akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Menteri Keuangan dan pindah ke amerika serikat memangku jabatan baru.
Dinegara miskin, Negara sedang berkembang maupun pada Negara berkembang pemberntasan KKN dan pungutan liar sangat sulit dilaksanakan karena pada Negara itu sangat sulit mendapatkan pemimpin yang berkarakter takut kepada Tuhan, menjunjung tinggi kebenaran, taat Hukum. Karena masyarakat yang telah lama terjajah berubah menjadi suatu bangsa dan kemudian merdeka menjadi suatu Negara atas perjuangan sendiri atau karena amnesty Internasional akan sulit mengatur (memanag) Negara sendiri karena pengaruh dan tekanan Negara kapitalis yang tetap berkeinginan menguras (membeli) sumber daya Negara baru merdeka itu dengan harga murah.
Ketika elit negara miskin (berkembang, sedang berkembang, miskin) menyerahkan eksplorasi sumber daya alamnya pada para pengusaha asing, elit yang berkuasa di Negara itu tentu mendapat imbalan yang besar dari para pengusaha asing tersebut sehingga penguasa negara-negara sedang berkembang sangat kaya raya. Kekayaan yang didapat dari menjual kekayaan negara tentu diketahui oleh birokrasi tingkat menengah atas sampai bawah, sehingga pejabat birokrasi dari tingkat menengah bawah sampai pelaksana akan berupaya mendapat uang (pungutan liar) dari pelayanan pada rakyat atau masyarakat.

Indonesia yang baru lepas dari cekeraman rejim otoriter Orde Baru tiga belas tahun lalu masih diliputi eporia demokrasi belum dapat berbuat banyak mengelola Negara dan membersihkan pengaruh KKN dan pungutan liar (PUNGLI) yang telah mengakar warisan Orde Baru. Memang ada yang berkomitmen untuk menumpas praktek KKN dan PUNGLI seperti, Preiden Susilo Bambang Yudoyono, Sri Mulyani, Jenderal Polisi Sutanto (purnawirawan), Baharudin Lopa (almarhum), dan beberapa gelintir tokoh masyarakat, tapi jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kelompok yang masa bodo, plinplan dan berjiwa konsumtif (korup).
Dari hasil pengamatan kami secara empiric bahwa korupsi, kolusi, nepotisme dan pungutan liar dapat kita ilustrasikan pada structural keluarga (rumah tangga) pada umumnya di Negara miskin dan sedang berkembang.
1) Korupsi, adalah ayah dari kegiatan mencuri uang Negara.
2) Kolusi, ialah ibu dari kegiatan mencuri uang Negara.
3) Nepotisme, merupakan anak dari kegiatan merugikan Negara.
4) PUNGLI, merupan cucu dari urutan keluarga yang merugikan rakyat atau masyarakat.

Bila diperhatikan secara saksama kegiatan PUNGLI tidak langsung merugikan keuangan Negara, tapi bila dicermat pelaku pelaksana pungli ini jumlahnya sangat besar, mulai dari pejabat menengah sampai pegawai pelaksana di kantor Dirjen, kantor Gubernur, kantor walikota, kantor bupati, kantor kecamatan, kantor kelurahan, kantor administrator pelabuhan, kantor kesyahbandaran, kantor pusat BUMN/BUMD kantor cabang sampai pelaksana. PUNGLI ini menjadi beban biaya tambahan yang dipikul masyarakat pengusaha dan rakyat yang pada gilirannya akan dibebankan pada produk yang akan dikonsumsi oleh negara dan rakyat. Produk out put pabrikasi atau finishing yang akan di eksport atau akan dikonsumsi dalam negeri pasti kalah bersaing harga (price) dengan produk sejenis yang diprodusir Negara lain misalnya Thailand, Malaysia dan Vetnam. Itulah sebabnya pabrik perakitan elektronik seperti Sony, Toshiba, Aiwa, pindah ke Malaysia dan perakitan mobil pindah ke Muangthai dan Veetnam. Kelihatannya PUNGLI tidak mempengaruhi kegiatan ekonomi tapi sesungguhnya PUNGLI masuk pada biaya produksi/distribusi yang berujung pada kegiatan “ekonomi biaya tinggi”.
Sepuluh tahun terakhir ini kegitan PUNGLI kurang diperhatikan oleh para peneliti independen di Indonesia, para peneliti lebih tertarik pada trend popularitas pemimpin padahal PUNGLI adalah penyakit (virus) yang sudah lama menulari pelaksana birokrasi. Bila virus ini tidak segera diberantas maka penyakit ini akan menggerogoti system, ahlak, moral para pegawai pelaksana sampai setingkat manager di lembaga pemerintahan. Sebagai contoh, kita dapat mengarahkan pandangan pada Pelabuhan Tanjung Priok, disana ada lembaga pemerintah setingkat kantor Administrator, Kantor Karantina, Kantor Bea & Cukai dan Kantor Cabang Pelabuhan Tanjung Priok. Di kantor ADPEL khususnya pada bidang kesyahbandaran dan bidang lalu lintas angkutan laut, PUNGLI merajalela, mulai dari kepala-kepala bidang sampai ke pegawai pelaksana. Untuk mengurus clearance satu unit kapal sampai dengan mendapat Surat Ijin Berlayar (SIB) keagena atau ship owner dimintai uang ratusan bahkan mencapai jutaan rupiah, di bidang lalu lintas angkutan laut untuk medapatkan selembar surat pemberitahuan berusaha (angkutan trailer, ekspedisi muatan laut, kegiatan pengiriman barang dan sebagainya), pengusaha mesti merogoh saku sebesar tiga sampai empat juta rupiah. Dikantor karantina pelabuhan, importir yang memasok barang seperti beras, jagung, kedelai, terigu, bawang Bombay mesti mengeluarkan uang PUNGLI agar proses pengeluaran barang menjadi lancar. Pada Kantor Bea & Cukai setelah dilakukan reformasi, amplop (uang) yang biasanya beredar mulai dari petugas penerimaan dokumen, pembukuan document, tukang stempel, ajudan sampai Kepala Seksi (kasi) tidak terlihat lagi, akibatnya proses pengurusan dokumen lambat, dokumen ditumpuk sampai menggunung, setelah para pelaksana ekspedisi/importir antri layaknya pengantri sembako dukomen dikerjakan dengan ogah-ogahan. Ketika proses telah selesai dilaksanakan (mulai dari pemeriksaan dokumen, bahandle sampai dikeluarkannya nota) Importir/EMKL harus bersiap menyediakan dana siluman (PUNGLI), bila Importir/EMKL ngotot mempertahankan argumennya maka siap dikenai NOTUL. Untuk menghindari demit yang namanya “Notul” ini, importir bersedia merogoh kocek sampai jutaan rupiah. Di kantor Cabang Pelabuhan Tanjung Priok, yang namanya uang siluman (PUNGLI) kelihatannya tidak ada, tapi sesungguhnya ada. Untuk membuktiknnya kita harus menelusuri jalan berliku pada pada tiap Divisi cabang Pelabuhan Tanjung Priok dengan tekun.
Penulis akan memulai penelusuran dan penelitiannya pada divisi perencanaan dan pengendalian operasi/PPSA yang bekompoten mengarahkan penambatan kapal didermaga. Kontak personal antara staf keagenan perusahaan pelayaran dengan staf PPSA berujung pengeluaran uang siluman (Pungli), perubahan status kapal yang tadinya melaksanakan pelayaran luar negeri menjadi pelayaran dalam negeri diakhiri dengan pengeluaran uang siluman (Kolusi) yang jumlahnya jutaan rupiah.
Divisi Teknik, divisi ini berkompoten merancang proyek, memelihara, memperbaiki, semua asset yang bergerak atau tidak bergerak dipelabuhan mulai dari gedung-gedung, jalan raya, dermaga, gudang, alat berat, lapangan penumpukan/penimbunan barang, sampai pembatas (pagar) areal pelabuhan dengan jalan umum diluar pelabuhan. Untuk mengerjakan pengadaan gedung, lapangan penimbunan barang, perbaikan jalan raya semua dirancang pada divisi teknik dimulai dari penetapan pemenang lelang sampai pada menetapkan anggaran biaya dan besaran fee (kolusi) yang ditetapkan menjadi beban para kontraktor. Selanjutnya untuk pekerjaan yang tidak melalui tender (pekerjaan yang dipecah) bernilai lima ratus juta rupiah kebawah, divisi teknik dan divisi logistic dan pengadaan bekerja sama guna mengadakan lelang terbatas dengan mengikut sertakan 3 sampai 5 perusahaan yang memiliki Surat Keterangan Rekanan Terseleksi (SKRT) yang dikeluarkan oleh divisi pengadaan dan logistic. Proses lelang (tender terbatas) yang dilaksanakan di divisi logistic dan pengadaan hanya akal-akalan Cabang Pelabuhan Tanjung Priok guna mengelabui masyarakat dan penegak hukum (KPK) dari praktek kolusi ini. Padahal pemenang pekerjaan itu telah ditetapkan misalnya perusahaan X dengan kewajiban membayar fee puluhan juta rupiah kepada manager teknik dan manager pengadaan dan logistic. Selain para manager disebutkan diatas, para staf dan pelaksana mendapat bagian uang siluman secara proporsional. Untuk pekerjaan KHS (sepuluh juta rupiah kebawah), biasanya para kontraktor cilik (UKM) cukup berurusan dengan para staf dan pelaksana divisi teknik karena uang pelicin (Pungli) yang dikeluarkan kontraktor juga relative kecil yaitu mulai dari lima ratus ribu sampai satu juta rupiah tapi karena jumlah pekerjaannya banyak maka kmulatif uang siluman (Pungli) cukup besar per tahun.
Ketika penulis selesai menelusuri perilaku, karakter dan kegiatan operasional ketiga divisi Cabang Tanjung Priok diatas, kini penulis mencoba penelusuran peran, karakter, perilaku dan sepak terjang divisi property yang mengawasi dan membawahi asset tidak bergerak Cabang Pelabuhan Tanjung Priok seperti gedung-gedung dan Tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pelindo II Cabang Tanjung Priok terdiri dari tanah dalam dan tanah luar.
Divisi ini di pimpin oleh seorang manager (Abuzai) yang secara hirarkis tunduk atau bertanggung jawab kepada general manager. Peran dan pengaruh Abuzai manager property dalam memberi masukan kepada general manager, direktur usaha sampai direktur utama sangat dominan. Abuzai dapat menentukan perusahaan mana yang dijadikan mitra penyewa tanah dalam atau tanah luar untuk dijadikan kepentingan mendukung kegiatan pelabuhan atau untuk kegiatan industri. Beliau yang menetapkan besaran sewa tanah per meter (tanah dalam dan tanahluar) di pelabuhan tanjung priok tanpa menghiraukan pasar yang berlaku di Malaysia dan Singapura. Di Singapura tanah dalam dihargai empat dolar amerika serikat per meter persegi per bulan, tanah luar dihargai tiga dolar amerika serikat per meter persegi per bulan. Di pelabuhan Tanjung Priok sebaliknya tanah dalam lebih murah dari tanah luar, atau harga per meter terserah dari kegiatan nego yang dituangkan dalam kesepakatan. Emangnya tanah pelabuhan milik pribadi, dapat seenaknya diberikan kepada siapa yang memberi imbalan besar (Kolusi) sampai ratusan bahkan mungkin mencapai miliaran rupiah. Guna menghindari praktek Kolusi yang berkepanjangan dan merugikan Negara, pemerintah pusat harus segera membuat standar harga atau melakukan tender (pelelangan) atas persewaan tanah untuk mendapatkan harga per meter persegi per bulan yang patut. Dari hasil penelusuran dan penelitian yang dilaksanakan penulis pada divisi property, maka disimpulkan bahwa pada divisi ini terjadi pungutan liar (Kolusi) berskala besar dan terorganisir. Selanjutnya pada divisi kepanduan pungutan liar kepada agen/owner perusahaan pelayaran dilaksanakan oleh pandu Bandar dengan jumlah terbatas dua ratus sampai tiga ratus ribu rupiah per pelayanan.
Yang terakhir adalah Divisi Usaha Terminal (Uster). Pada divisi ini peluang Kolusi dan pungutan liar sangat memungkinkan karena para pelaksana, supervisor, manager dan deputy general manager operasi dapat berhubungan langsung dengan pemakai jasa pelabuhan (EMKL/Shipper, Owner/agen pelayaran). Menurut pemakai jasa pelabuhan, metodelogi/teknik yang digunakan divisi uster dalam melaksanakan pungutan liar (Pungli) dan Kolusi kepada pemakai jasa pelabuhan sebagai berikut.
1) Pelaksana lapangan/gudang, supervisor sampai manager dapat melakukan kesepakatan (Kolusi) dengan pemakai jasa tentang jumlah muatan (barang) yang akan dimuat atau dibongkar dari kapal ke dermaga selanjutnya ditimbun di lapangan atau gudang. Muatan yang mestinya 3.000 ton dilaporkan 2.000 ton, penumpukan yang mestinya lima hari dilaporkan dua hari alasannya sebahagian besar dilaksanakan dengan truck loading. Dari selisih jumlah tonase ini didapat selisih uang (muat dan penumpukan) yang cukup besar.
2) Ketika pemilik muatan/bongkaran kesulitan mendapatkan tempat penumpukan barang di gudang atau lapangan, untuk mendapatkan fasilitas ini pemilik barang harus merogoh koceknya lebih dahulu (Pungli).
3) Ketika perusahaan pelayaran kebingungan mencari kade tempat penyandaran kapalnya sementara dermaga dinyatakan penuh, keagenan didesak dan diancam pemilik barang, maka keagenan minta tolong kepada manager uster dan manager PPSA agar kapalnya dapat disandarkan bagaimanapun caranya. Atas upaya dan inisiatif para pelaksana, supervisor sampai manager dilapangan, keagenan pelayaran suka atau tidak suka harus mengeluarkan uang pelican (Pungli) kepada kordinator lapangan.
4) PBM yang dapat order bekerja didermaga dimintai sejumlah uang sebelum melaksanakan kegiatan bongkar atau muat barang di kade.
5) EMKL atau pemilik barang yang akan mengurus pengeluaran barangnya akan dimintai sejumlah uang oleh pelaksana di lapangan.
6) Tiap truck yang memuat barang bongkaran atau muatan dimintai uang oleh petugas di pintu (gate).

Dari hasil penelusuran dan penelitian yang dilakukan penulis pada beberapa kantor intansi pemerintah di Jakarta sampai pelabuhan Tanjung Priok maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ber Pungli ria merupakan padanan dari kegiatan pelayanan pada masyarat dan rakyat. Kegiatan pungli dalam prakteknya lebih dekat (familier) kepada Kolusi, kedua kegiatan ini saling bahu membahu dalam pencapaian sukses menghasilkan uang siluman, entah itu dikeruk dari masyarakat atau uang Negara.
Sampai hari ini belum ada penelitian yang menyatakan bahwa Pungutan Liar (Pungli) dapat membangkrutkan sebuah Negara, tapi karena pungli sangat familier dengan Kolusi maka Pungli harus diberantas dari bumi Indonesia mulai hari sampai masa yang akan datang.
Untuk generasi muda penerus bangsa yang memilih karir pada bidang profesional, birokrasi dan wiraswasta mulai hari ini tanamkan dalam hati sanubari dan jiwa saudara-saudari, bahwa KKN dan Pungli adalah musuh Negara yang memiskinkan rakyat.




Bhorthe Urdu.

Kamis, 10 Maret 2011

BAHAYA KORUPSI, KOLUSI, NEPOTISME

Pada negara-negara terbelakang dan sedang berkembang Korupsi berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang di Negara itu mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat rendahan korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan yang telah mengakar pada masyarakatnya. Dalam seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga survey independen dunia pada semua Negara mulai dari Negara maju (modern) sampai pada Negara terbelakang, didapat hasil yang konstan dari tahun ke tahun bahwa tingkat ranking tertinggi korupsi terdapat pada Negara-negara terbelakang dan Negara Sedang Berkembang.

Di Indonesia perkembangan korupsi juga menggelora sejak tengahan orde baru sampai kini, itulah sebabnya diawal pemerintahan Ibu Megawati Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk guna meredam perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang cenderung mewabah pada lapisan Birokrasi, Lembaga Tehormat dan Institusi swasta. Namun hingga kini pemberantasan Korupsi belum menunjukan titik terang itu dilihat dari peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara, Indonesia masih tinggi wabah korupsinya. Itu ditandai dengan banyaknya kasus bermuatan petensi korupsi, kasus yang sedang ditangani dan kasus korupsi yang telah dituntaskan KPK. Betapa ironis dan menyedihkan kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini kalau pada jaman orde baru KKN merambah dari Jakarta kemana-mana itu memang mesti demikian, karena yang punya negara hanya satu orang. Kini yang punya negara katanya rakyat, Presiden kepala pemerintahan dipilih rakyat, Lembaga yang mewakili rakyat dipilih rakyat tapi yang menegakan keadilan dan peraturan tidak dipilih rakyat itulah sebabnya tidak berpihak pada rakyat karena tidak dipilih rakyat. Yang dipilih atau tidak dipilih semua membingungkan rakyat, lagi-lagi yang menjadi kambing hitam, kambing coklat dan atau kambing belang adalah rakyat, jadi yang menjadi pelengkap penderita adalah rakyat.

Agar rakyat selamanya tidak menjadi pelengkap penderita dalam bernegara dan berbangsa, rakyat harus cerdas, punya pengetahuan dan berkarakter sehingga mengetahui keburukan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Bila KKN dapat dienyahkan dari bumi pertiwi ini maka tidak mustahi rakyat akan merasakan dan mengalami apa yang dinamakan “gemah ripah loh jinawi” yaitu rakyat cukup sandang pangan, papan, pendidikan gratis atau terjangkau, dan lapangan pekerjaan tersedia, di Instansi Pemerintah, Keamanan/Pertahanan Negara, BUMN dan Instansi Swasta tanpa merogo saku.

Dari jaman kolonial belanda sampai Indonesia merdeka praktek KKN sebenarnya sudah ada buktinya VOC perusahaan dagang monopoli Belanada bangkrut karena korupsi, akhir pemerintahan rejim Orde Baru kas Negara kosong tidak punya uang, hutang Negara dimana-mana melilit pinggang padahal Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti; pertanian, perkebunan, hasil hutan (kayu, rotan, damar), hasil tambang (minyak, gas, batubara, emas, perak, platina, tembaga, kuningan, crom, aluminium dsb), hasil dari laut (ikan, rumput laut dan sebagainya), perikanan darat dan jasa. Lalu kemana semua kekayaanm ribuan triliun itu kalau bukan raib ditelan yang namanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk mengenal benda abstrak yang namanya KKN kita perlu mendekatinya dan membuat definisi atas tiga kata (KKN) yang menjadi kata kerja dan kata sifat pada seluruh aspek kegiatan rakyat selaku pelaku ekonomi Negara.

Kata korupsi, kolusi, nepotisme berasal dari bahasa asing dibakukan dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Tahun 1991 bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut :
a. Korupsi, adalah suatu kegiatan untuk menggelapkan (uang Negara dan uang Perusahaan) dan atau mengelapkan potensi pendapatan Negara yang digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.
b. Kolusi didefinisikan, ialah suatu persekongkolan yang bersifat rahasia atara pejabat Negara, pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan dengan Pimpinan Perusahaan Domestik atau Perusahaan Asing sehingga pejabat Negara/BUMN tersebut mendapat keuntungan untuk memperkaya diri dari kegiatan persekongkolan itu.
c. Nepotisme didefinisikan sebagai kegiatan persekongkolan Pejabat Negara/BUMN dengan keluarganya atau orang kepercayaannya untuk mendapatkan proyek dari Departemen atau BUMN yang dipimpinnya sehingga keluarga (Istri, Putra, Mertua, Saudara sekandung, Paman, Ponakan atau Pembantu) menjadi kaya raya dan Pejabat tersebut akan menjadi kaya raya.

Ketiga kata yang disingkat menjadi KKN pada era reformasi tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 sangat “popular” namanya sehingga dihujat dimana-mana, anak-anak yang baru lepas netek saja kerap meneriakan “basmi KKN” tapi mengenai arti dan definisinya belum tentu dimengerti oleh semua orang dewasa rakyat Indonesia.

Untuk menyatukan pemahaman dengan arah pandang yang sama disini kita coba untuk mendefinisikan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan perilaku operasionalnya :

1. KORUPSI.
Yang dimaksud dengan Korupsi disini adalah penggelapan uang Negra oleh sekelompok orang atau individu untuk memperkaya diri sendiri. Penggelapan uang atau kekayaan Negara dimaksud adalah penggelapan dari sisi pendapatan atau pembelanjaan contohnya, seorang setingkat Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati, Direktur Utama BUMN/ BUMD dapat membelanjakan uang Negara sesuai dengan anggaran yang telah dialokasikan pada kewenangannya misalnya seratus miliar, yang dibelanjakan sebatas lima puluh miliar laporan pertanggung jawaban tetap sebesar seratus miliar, masuk keperbendaharaan kekayaanya lima puluh miliar. Dari sisi pendapatan, misalnya penjualan asset, persewaan tanah, penjualan jasa-jasa, bunga Bank dan securitas sebesar lima triliun, reduksi dan biaya operasional satu triliun maka laba usaha jasa, penjualan asset dan pendapatan lainnya mestinya empat triliun rupiah. Tetapi dilaporkan bahwa pendapatan dari penjualan asset, persewaan tanah/lahan, penjualan jasa, bunga Bank dan securitas empat triliun rupiah, reduksi, biaya usaha, biaya over head dua setengah triliun maka laba bersih sebelum pajak satu setengah triliun, yang dikorup sebesar dua setengah triliun.
Jadi dari kedua contoh sederhana yang dikemukakan diatas Korupsi dilaksanakan dari sisi Pembelanjaan maupun dari Pendapatan Uang Negara.

2. KOLUSI.
Kolusi adalah persekongkolan antara Pejabat Negara dengan Pimpinan Perusahaan Domestik atau Pimpinan Perusahaan Asing untuk menggarap suatu pekerjaan dan atau pengadaan barang sehingga oknum pejabat Negara dan Perusahaan tersebut saling mendapat keuntungan besar. Pejabat Negara dimaksud disini dapat dilaksanakan oleh Meneteri, Dirjen, Gubernur, Bupati, Dirut BUMN dan BUMD.
Contoh sederhana misalnya pembelian unit mesin-mesin untuk pabrik pemintalan benang yang harus diadakan dari luar negeri dengan anggaran sebesar dua ratus juta dolar amerika. Sebelum diadakan transaksi, Pejabat tinggi tersebut setingkat (Menteri, Dirjen, Dirut BUMN) melakukan pertemuan diluar negeri untuk melakukan survey dan nego, setelah disepakati berapa persen rabbat (potongan harga) misalnya sepuluh persen bila dilaksanakan dengan pembelian cash, bila yang dibeli spesifikasi nomor dua dengan bentuk dan fungsi yang sama harganya seratus delapan puluh juta dolar amerika, pembayaran cash, rabbat lima belas persen dari invoice (dua ratus juta dolar amerika) dilaporkan pembelian mesin dengan harga dua ratus juta dolar amerika serikat, rabbat sepuluh persen maka yang dibelanjakan sebesar seratus sembilan puluh juta dolar amerika dengan penghematan sepuluh juta dolar amerika padahal yang dibelanjakan riil sebesar seratus lima puluh juta dolar amerika yang dikantongi empat puluh juta dolar amerika serikat. Contoh lainnya dalam hal membangun jalan raya atau gedung-gedung pemerintah yang mengerjakan kontraktornya itu melulu karena jauh hari sebelum dilaksanakan proyek pembangunan gedung atau jalan raya, pejabat yang berkompoten biasanya diwakili oleh pimpro, melaksanakan pertemuan (arisan) bagi-bagi proyek dan penetapan besar fee (komisi) kepada pejabat penentu setingkat (menteri, dirjen,gubernur, bupati, dirut BUMN/BUM) setelah disepakati maka proses tender formal akan dilaksanakan waktu berikutnya. Pada proses tender atau pelelangan bila kontraktor luar (tidak sindikat) mencoba ikut tender pasti akan kalah jadi buang waktu dan uang. Bila hasil pekerjaan pembangunan gedung terutama interior tidak memenuhi standar (kualifikasi) termasuk jalan raya yang cepat rusak berlubang, menjadi wajar karena ada kegiatan perampokan didalamnya.
Contoh lain, misalnya lahan Kelurahan Koja Utara yang telah dihuni rakyat sejak jaman Hindia Belanda dibebaskan dari hunian rakyat karena akan digunakan untuk pembangunan terminal Petikemas Koja Utara dengan fasilitas pergudangan (CFS) dan lapangan penumpukan/penimbunan (yard) petikemas terbesar di Asia tenggara. Karena alasan pembangunan pelabuhan (Terminal Petikemas), Pemerintah Pusat dan Pemkot Jakarta Utara tahun 1993 memberi ijin kepada PERUM PELABUHAN INDONESIA II (BUMN) untuk melaksanakan pembebasan dan pembangunan terminal dimaksud. Pada proses pengukuran tanah terjadi kongkalikong antara petugas pengujur dengan pemilik/penyewa tanah guna mendapatkan ganti rugi dari pembebasan lahan tersebut, pemilik tanah mendapat penggantian lebih panitia pembebasan juga mendapat bagian atas kelebihan pembayaran pembebasan tanah tersebut. Selanjutnya lahan yang telah bebas itu mestinya segera dibangun lapangan (yard) dan pergudangan (cfs), tapi pada kenyataanya TPK. KOJA dan perkantorannya hanya menggunakan seperlima dari jumlah keseluruhan lahan tersebut, selebihnya menjadi lahan kosong seakan tidak bertuan.
Ketidak perdulian management PELINDO II atas lahan Koja Utara yang dibebaskan dengan pengorbanan setengah triliun rupiah pada waktu itu, dimanfaatkan oleh oknum yang menamakan dirinya Ahli Waris Mbah Priok dengan cara menggarap dan memagar lahan seluas lebih kurang Sembilan Hektar padahal tadinya lahan itu sudah dibebaskan.
Pergantian Kepala Pemerintahan tahun 1998 dari Orde Baru ke Orde Pra Reformasi penyebab keuangan Negara menjadi amburadul alias kosong katanya, tahun 1999 salah satu mesin uang Negara yaitu TPK. Tanjung Priok sebahagian besar kepemilikannya dijual kepada Pihak Asing selama dua puluh tahun dengan komposisi kepemilikan lima puluh satu persen milik asing dan empat puluh sembilan persen milik Negara (PELINDO II) dan nama unit usaha menjadi PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Tahun 2000 sebahagian lahan kosong itu disewakan kepada Pihak Pertamina dan sebahagian lebih kurang tiga koma tujuh Hektar disewakan kepada PT. Graha Segara yang akan digunakan tempat penumpukan/penimbunan Petikemas Pindah Lokasi dari PT. JICT dan TPK. KOJA. Tahun 2001 pertumbuhan ekonomi mulai membaik dengan kisaran mencapai level 6% - 8% pertahun, tetapi lahan Koja Utara tidak dibangun PELINDO II sebagaimana rencana awal sementara lahan diluar pelabuhan seperti PT. AIRIN, PT. Transporindo sebelah Timur PT. Bogasari flour mills Tbk, PT. Berdikari, PT. Ujung, PT. DKB, PT. Tjiptani di Jl. Yos Sudarso mulai dipadati Petikemas Impor Pindah Lokasi Penumpukan.
Tahun 2009 setelah krisis moneter/ekonomi dunia berlalu peri laku pertumbuhan Petikemas Impor/Espor, domestik meningkat ekstrim, (TPS) didalam dan diluar pelabuhan Tanjung Priok penuh, Management Cabang Pelabuhan Tanjung Priok berupaya keras mengambil langkah antisipasi dengan cara meremodeling lahan perkantoran di lini dua Pelabuhan Tanjung Priok menjadi Lapangan Penumpukan Petikemas Domestik (Dalam Negeri). Mestinya kesempatan dan peluang ini digunakan oleh Mangemen PT. PELINDO II untuk melaksanakan investasi membangun Lapangan Penumpukan/Penimbunan Petikemas dan Gudang CFS di Lahan Koja Utara, selain mendapat keuntungan besar dari hasil usaha dapat pula melancarkan distribusi Petikemas kesegala penjuru wilayah DKI dan Jawa Barat.
Peluang, Kesempatan dan Kekuatan Perusahaan tidak digunakan Management PELINDO II untuk meraih sukses yang pantastis, melulu hanya berkaca melihat kelemahan pada didi sendiri sehingga lahan strategis nan elok itu diberikan kepada PT. Aneka Kimia Raya (AKR) untuk penumpukan tanki penampungan Kimia cair yang nilai jualnya tidak seberapa. Sebahagian lagi diberikan untuk perluasan Lapangan Penumpukan Petikemas JICT dan perpanjangan dermaganya mentok ke dermaga TPK. KOJA. Lalu kita bertanya ada apa dibalik semua itu. Apakah motifasi pemberian lahan yang dapat memberikan margin kontribusi triliun rupiah itu bila diusahakan oleh PELINDO II kemudian diberikan kepada pihak lain (AKR, JICT dan Graha Segara). Berapa besar sewa yang didapat oleh PELINDO II apakah sebanding dengan pendapatan bila diusahakan sendiri. Apakah pemberian lahan strategis Koja Utara bermuatan Kolusi berskala besar ?.

3. NEPOTISME
Nepotisme merupakan kegiatan persekongkolan antara Pejabat Negara dengan keluarganya untuk mengerjakan semua kegiatan pekerjaan yang pada Departemen yang dipimpinnya. Pejabat Negara dimaksud disini dimulai dari setingkat Menteri, setingkat Dirjen, Gubernur, Bupati, Dirut BUMN/BUMD. Keluarga Pejabat Negara mulai dari Istri, Anak, Bapak, Mertua, Saudara Sekandung, Saudara Istri, Ponakan dan atau Orang lain yang ditunjuk menjalankan Usaha Keluarga. Pada jaman Orde Baru Pejabat Tinggi Negara mulai dari Presiden sampai Direktur Utama BUMN biasa saja memberikan pekerjaan pemborongan (konstrusi) dan pengadaan barang kepada anak, istri, saudara atau keponakan tanpa merasa risih maka pada pra era reformasi yang namanya KKN sangat dibenci dan dimusuhi rakyat jelata sampai kaum intelektual.
Kini setelah tiga belas tahun era reformasi penyakit tiga hurup (KKN) ini kembali mulai muncul dimana-mana mulai dari pemerintah Propinsi, Kabupaten, Pemerintah Kota dan BUMN/BUMD bahkan sampai pada Lembaga Terhormat.

4. KESIMPULAN
Dari uraian tentang perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang kami kemukakan diatas maka ketiga kutu yang disebutkan diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme bila dibiarkan terus akan menjadi kanker yang menggerogoti kehidupan Negara karena Negara akan terus menerus tergantung pada pinjaman luar negeri sehingga kumulatif hutang tahun ke tahun membengkak seperti balon yang ditiup.
b) Korupsi. Kolusi dan Nepotisme merupakan hama yang sangat mematikan seperti belalang ganas yang melahap daun dan batang tumbuhan, semua sumber daya alam dan jasa-jasa produktif akan habis dilalap KKN tanpa menyisakan sedikitpun pada rakyat.
c) Bila KKN tidak dilawan secara nasional maka tiga puluh tahun kedepan Negara Indonesia akan berubah menjadi padang tandus kering kerontang.
d) Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan kata sifat dan kata kerja yang sejatinya merusak mental dan moral bangsa yang dihinggapi penyakit ganas ini.

5. SARAN

a) Untuk membasmi penyakit ganas ini (KKN) para penegak hukum (KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Para Hakim) harus bertidak cepat dan tegas tanpa pandang bulu sebelum penyakit ini menulari semua rakyat Indonesia.

b) Penyakit KKN ini dapat menulari semua sendi-sendi birokrasi (pemerintah) sampai instansi swasta karena itu kita sebagai rakyat Indonesia tentu tidak lepas tanggung jawab begitu saja dari serangan wabah ganas ini, bila kita ketahui terjadi praktek KKN pada suatu proses pekerjaan, pengadaan barang pemberian fasilitas Negara (disewa pihak swasta atau dibeli) segera kita laporkan kepada pendekar hukum Negara ini.

c) Pejabat tinggi sampai kurir (Gayus) yang melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme seyogyanya diganjar hukuman seberat-beratnya guna menimbulkan efek jera dan keadilan pada masyarakat yang telah dimiskinkan karena perbuatan para koruptor itu. Para koruptor yang melaksanakan Korupsi, Kolusi dan atau Nepotisme sebesar seratus ribu sampai satu juta rupiah diganjar hukuman penjara 2 tahun, korupsi sebesar satu juta seratus ribu rupiah sampai dengan lima puluh juta rupiah diganjar hukuman penjara selama 3 tahun. Korupsi lebih dari lima puluh juta sampai dengan seratus juta rupiah diganjar hukuman penjara selama empat tahun, korupsi lebih dari seratus juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah diganjar hukuman penjara lima tahun kurungan, lima ratus juta rupiah lebih sampai dengan satu miliar rupiah diganjar hukuman penjara enam tahun kurungan. Korupsi satu miliar rupiah lebih sampai dengan tiga miliar rupiah diganjar hukuman penjara tujuh tahun kurungan, korupsi tiga miliar rupiah lebih sampai dengan lima miliar rupiah diganjar hukuman penjara selama sepuluh tahun kurungan, korupsi lima miliar rupiah sampai dengan sepuluh miliar rupiah diganjar hukuman penjara selama lima belas tahun penjara, korupsi sepuluh miliar lebih sampai dengan lima puluh miliar rupiah diganjar hukuman penjara seumur hidup kurungan dan korupsi lima puluh miliar rupiah lebih dijatuhi hukuman mati.





ooooooo O ooooooo