Minggu, 26 Juni 2011

SEKSI ADMINISTRASI MANIFEST KANTOR (EDISI REVISI) BEA DAN CUKAI PELABUHAN TG. PRIOK PENGHAMBAT KEGIATAN CONTAINER PINDAH LOKASI KE LAPANGAN PELINDO II

Upaya Container Pindah Lokasi (overdue) yang dilaksanakan Terminal Container dari Terminal TPK. KOJA, PT. JICT, Terminal TBB, PT. MAL dan Terminal Regional Harbour (RH) bukan prinsif suatu pelabuhan. Tapi karena keterbatasan Lapangan (yard) suatu terminal seperti Terminal PT. Mustika Alam Lestari (MAL), Terminal Besi Bekas (TBB), Terminal Petikemas KOJA, dan Terminal Jakarta International Container Terminal (JICT) maka Container Pindah Lokasi (Overdue) dilaksanakan agar kapasitas Lapangan tidak mencapai YOR diatas sebilan puluh persen (90%) yang memungkinkan terjadinya stagnan. Kenyataannya pelaksanaan Container Pindah Lokasi pada Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang dikelola PELINDO II Cabang Tanjung Priok tidak mulus, untuk menyelesaikan clearence Dokumen Container Pindah Lokasi Penumpukan (PLP) butuh waktu sembilan puluh enam (96) jam dengan rincian, di kantor P2 Bea dan Cukai 12 Jam dan pada Kantor Seksi Administrasi Manifest dapat mencapai delapan puluh empat (84) jam modusnya mungkin karena Container yang masuk pada Lapangan PELINDO II tidak menyediakan dana pengurusan sementara pada TPS swasta yang memasang tarif yang relatif tinggi pengurusannya sangat lancar paling lama 18 jam ada apa dibalik itu.

Menurut informasi yang kami dapat di lapangan, bahwa saudara Ilham dan Handoko sengaja memperlambat selesainya dokumen PLP agar Importir/ EMKL relasi mereka dapat segera mengurus Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) Container. Dengan dikeluarkannya SPPB dari Kantor Bea dan Cukai maka Container Impor yang di timbun pada Lapangan Terminal tidak dapat dipindahkan sementara kapasitas lapangan telah meningkat diatas seratus persen (100%) sehingga kegiatan bongkar, muat dan delivery terganggu (macet).

Dari hasil pengamatan penelitian kami di Lapangan (yard) JICT dan TPK. KOJA, Container berstatus SPPB masih banyak tertimbun dilapangan, mungkin karena tarif lapangan penumpukan Terminal Container dianggap murah oleh pemilik barang (importir) atau karena dokumen barangnya belum selesai pada Departemen terkait atau mungkin dokumennya perlu perubahan/perbaikan (redress) ke luar negeri.

Ketika YOR terminal JICT dan atau TPK. KOJA telah mencapai seratus persen (100%), Kepala Seksi Administrasi Manifest Achmad Fatoni dengan stafnya Handoko dan Ilham seakan tidak perduli atas kemacetan diterminal bila Container tersebut akan di Pindah Lokasikan ke Lapangan plat Merah 215X MTI dan 106X Pelindo II. Tapi bila yang mengajukan PLP adalah pengelola TPS. Swasta, maka sampai pukul 20.00 akan dilayani Achmad Fatoni dan Handoko di kantor Bea dan Cukai.

Pengamat,


J A M U K A

Kamis, 23 Juni 2011

TPK KOJA VERSUS TERMINAL JICT

TPK KOJA VERSUS TERMINAL JICT


Menurut sejarahnya UTPK. Tanjung Priok mulai dibangun tahun 1974 ketika kemasan berupa Container mulai masuk ke pelabuhan Tanjung Priok pada waktu itu. Terminal selesai dan diresmikan tahun 1982 oleh Bapak Soeharto Presiden Republik Indonesia pada watu itu. Awal peresmian, Porttainer (CC) UTPK. Tanjung Priok berjumlah enam (6) Unit merk Sumitomo dengan sejumlah Trastainer, RTG, Head Truck dan Chasis. Pertumbuhan arus Container yang pesat yang diangkut kapal-kapal Container, Semi Contaiker dan Feeder memaksa Perum Pelabuhan Indonesia II membangun Terminal Petikemas II di Lapangan Lini II Birai Barat Pelabuhan II dengan luas Lapangan penumpukan sembilan (9) Hektar. UTPK. Tanjung Priok merupakan primadona sumber dana segar bagi Perum Pelabuhan II pada waktu itu sehingga banyak pemilik modal merasa tergiur untuk memiliki Terminal Petikemas di Tanjung Priok. Itu ditandai dengan dibangunnya Terminal PT. SEGORO, rencana pembangunan UTPK. KOJA oleh Humpuss Terminal Container berafliasi dengan PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero). (PELINDO II). Bimantara Group berafliasi dengan Group Perusahaan Domestik dan PELINDO II berencana membangun Terminal Container berskala Mega di Bojonegoro Banten dengan menghabiskan uang lebih kurang tujuh ratus miliar rupiah ketika PELINDO II di Nakhodai Ir. Amir Harbani mantan Direktur Jawatan Perkeretapian pada waktu itu.

Pembangunan UTPK. KOJA dapat dilakukan tahun 1993 setelah lahan seluas 115 Hektar atau setara dengan 1.150.000 meter persegi dibebaskan dari penduduk lima ribu lima ratus (5.500) kepala keluarga (KK). Tetapi sayang, Terminal Petikemas KOJA yang tadinya dirancang Humpuss menjadi terminal terbesar di Asia Tenggara tinggal menjadi angan-angan, lahannya kini malah disewakan PELINDO II kepada Pertamina, PT. Aneka Kimia Raya, PT. Djakarta Lloyd, Graha Segara dan sebagaian atau kurang dari sembilan puluh ribu (90.000) meter persegi dioperasionalkan Mbah Priok. Amburadolnya realisasi pembangunan Terminal Petikemas KOJA berskala Mega, kemungkinannya terjadi karena jatuhnya Rejim Orde Baru secara tidak terduga sehingga pembangunan Lapangan Penumpukan dan Gudang CFS sampai batas jalan Raya Cilincing dan dengan panjang Dermaga seribu delapan ratus (1.800) meter terputus.

Kejatuhan Rejim Orde Baru digantikan pemerintah transisi berdampak pada kekacauan moneter, uang satu dolar amerika serikat (US.$.1) dihargai delapan belas ribu rupiah (Rp.18.000,-), para pengusaha penghutang luar negeri kelabakan bayar pinjaman yang jatuh tempo, kas Negara kosong untuk menggaji pegawai dan tentara pemerintah terpaksa minjam uang pada pihak asing. Untuk mengisi kekurangan likuiditas negara, pemerintah dengan terpaksa menjual sebahagian besar saham BUMN kepada pihak asing. UTPK Tanjung Priok unit usaha PELINDO II menjadi sasaran tembak pengusaha asing, karena terminal ini selain pencetak uang Negara (PELINDO II) posisinya dilihat dari sisi ekonomi, sosial dan politik sangat strategis dengan dukungan kawasan Industri dan jumlah penduduk terpadat di Indonesia.

Dengan dijualnya lima puluh satu (51%) persen saham UTPK. Tanjung Priok kepada pihak Asing (Grosbeak Pte. Ltd) dan dengan berubahnya status dan nama terminal menjadi Terminal PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) menjadi perhatian bagi PT. Humpuss Terminal Petikemas (Container) untuk ikut-ikutan menjual sahamnya kepada pihak asing (PT. Ocean Terminal Petikemas). Bila pada Terminal JICT penguasaan saham didominasi pengusaha asing maka pada Terminal TPK. KOJA penguasaan saham termial didominasi oleh Pelindo II (52,12%) sehingga status Terminal adalah Unit Usaha PELINDO II.

Yang kini menjadi pertanyaan bagaimanakah status karyawan yang direkurt PT. HTP, apakah mereka menjadi karyawan BUMN PELINDO II atau karyawan pembeli saham HTP. Secara phisikologi kejelasan status karyawan ini sangat mendorong motifasi dan loyalitas karyawan kepada perusahaan. Kita dapat mencermati status karyawan pada Terminal JICT yang kini di operasionalkan Hutchison Port Holding, group Grosbeak Pte. Ltd, karyawan berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SLTA) yang baru direkrut oleh JICT dihargai dengan upah sebesar delapan juta rupiah (Rp. 8.000.000,00) diluar premium bulanan dan bonus tahunan. Status mereka jelas, yang pensiun hasil rekrutan JICT akan diberikan pesangon lebih dari enam ratus juta rupiah (Rp. 600.000.000,00), mereka sangat termotivasi dan loyal pada perusahaan, mereka luar biasa alat yang tadinya warisan Perum Pelabuhan relatif sudah tua sampai saat ini masih gress. Bagaimana dengan operasional TPK. KOJA yang dinakhodai PELINDO II, sangat-sangat memperihatinkan. Untuk melaksanakan Delivery dua atau tiga Boxes Container pada saat ada kegiatan bongkaran dan muatan (eksport) butuh waktu delapan belas (18) jam mengeluarkannya dari Lapangan Terminal TPK. KOJA. Karena apa ? sebab sebahagian alatnya (RTG) yang dibeli oleh HTP tahun 1996 banyak rusak, maka proritas pelayanan fokus pada kegiatan bongkaran dan muat sementara Container yang berstatus SPPB numpuk dilapangan.

Hasil penelitian yang kami dapat dari dilapangan dengan menggunakan metode wawancara kepada para EMKL, petugas lapangan Terminal TPK. KOJA, JICT dan PT. MAL dan juga mengamati langsung kegiatan dilapangan dimulai dari Kantor P2, Seksi Administrasi Manifest, Staf Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) sampai Lapangan (Yard) Terminal kami nenemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Menumpuknya Container Import di Lapangan (yard) TPK. KOJA dimana YOR dapat mencapai seratus sepuluh persen (110%) saat kedatangan kapal Generasi ke III atau ke IV dua unit sekaligus disebabkan beberapa faktor antara lain :
1) Banyak alat yang rusak (RTG).
2) Ratio luas lapangan kurang memadai di banding dengan panjang dermaga plus volume kunjungan kapal perbulan.
3) Container SPPB (delivery) banyak tertimbun di lapangan sehingga mengacaukan sistem perencanaan.
4) Pemindahan Lokasi Penimbunan Container ke Lapangan TPS PELINDO II dan atau TPS swasta di luar pelabuhan kurang berjalan lancar.
b. Penumpukan Container Import di Lapangan (yard) JICT dapat mencapai YOR 110% pada saat Terminal menerima kedatangan kapal Generasi ke tiga (3) empat (4) unit ) sekaligus disebabkan beberapa faktor antara lain :
1) YOR 85% yang ditetapkan Dirjen. Bea dan Cukai melalui Peraturan Direktur Jenderal Bea an Cukai Nomor: P-26/BC/2007 tanggal 30 Agustus 2007 Tentang Tatacara Pelaksanaan Pindah Lokasi Penimbunan Barang (Container) Impor yang Belum Selesai Kewajiban Pabeannya.
2) Container Impor berstatus SPPB mengendap di Lapangan sehingga pada saat melakukan kegiatan bonkaran di dermaga operator RTG banyak melakukan shifting guna mendapatkan ruang penumpukan.
3) Penumpukan pada kapasitas lapangan 95% menyulitkan alat (RTG) melakukan manuver pindah block karena ruang putaran roda RTG diisi Container.
4) Ongkos penumpukan dilapangan relatif murah dan tidak diberlakukan denda bagi Container SPPB sebgai penyebab Importi berlama-lama menimbun barangnya pada terminal.
c. Terminal PT. MAL. (Ex. SEGORO) Di Kade Nomor 115X kasusnya hampir sama dengan TPK. KOJA, yaitu Lapangan pendukung sangat sempit karena Terminal ini tadinya adalah Terminal General Purpose disulap menjadi Terminal Container.

KESIMPULAN :

1. Pada Terminal TPK. KOJA Jl. Timor No. 2 Koja Utara pelayan Delivery, Overdue sangat lambat terkesan macet karena Alat banyak yang rusak dan Lapangan (yard) sempit dan barang SPPB menumpuk di lapangan.
2. Tingginya YOR rata-rata yang ditetapkan mantan Derektur Jenderal Bea Dan Cukai sebesar 85% menyulitkan pihak Terminal JICT menghadapi lonjakan arus container yang tiap saat dapat booming.
3. Container SPPB yang tetap menumpuk dilapangan menyulitkan Terminal JICT mendapat ruang pada saat kegiatan bongkar dan muat (eksport).
4. Dengan YOR lapangan mencapai sembilan puluh persen (90%) akan berdampak negatif pada Terminal JICT karena banyak kegiatan shifting (pemborosan energy) dan melelahkan karyawan (tenaga kerja).
5. Pada Terminal PT. MAL di Kade 115X, kasusnya hampir mirip dengan UTP. KOJA yaitu: Lapangan (yard) sempit peralatan relatip tua akses masuk sempit.

SARAN.

1. Agar karyawan TPK. KOJA termotivasi dan loyal, seyogyanya status Karyawan dan Terminal di perjelas.
2. Luas Lapangan Penumpukan Terminal ditambah dan Alat yang rusak diganti, untuk melayani kegiatan delivery dan onerdue digunakan Reach Stackers karena mobil.
3. Container SPPB yang tetap menumpuk dilapangan segera dikenakan sanksi denda penumpukan sebesar 500% dari tarif dasar per hari sesuai dengan Keputusan Direksi Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor: HK.56/1/14/PI-II-11.
4. Agar kegiatan di Terminal JICT cepat, lancar dan efisien (tidak boros), seyogyanya besaran YOR diperkecil sampai 60%.
5. Untuk Container SPPB yang tertimbun di Lapangan Penumpukan segera dipindah lokasikan atau dikenai denda sebesar 500% sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Pelabuhan Indonesia II (Persero).
6. Container Impor yang masih mengalami hambatan atas dokumennya (redress) seyogyanya memindahkan barangnya pada Lapangan TPS. PELINDO II karena tarif pelayanan yang diberlakukan relatif murah.
7. Pihak PELINDO II Cabang Tanjung Priok seyogyanya cepat mengurus ijin TPS (Lapangan 216X, Lapangan 217X Lapangan 218X, Lapangan 219X dan Lapangan 210X) pada Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai tanjung Priok agar dapat mengurang ekonomi biaya tinggi yang dipikul barang yang dibongkar pada pelabuhan Tanjung Priok.
8. Untuk menngatasi ekonomi biaya tinggi di pelabuhan Tanjung Priok (kemacetan, double handling, pungutan liar) seyogyanya Rencana pembangunan Pelabuhan Impian (Dream Port) dari Kali Baru atau Marunda menjorok ke tengah laut (reklamasi) dua juta (2.000.000) meter persegi segera diwujutkan.
9. Dalam kurun waktu menengah pendek pihak Bea dan Cukai pelabuhan Tanjung Priok seyogyanya jangan berpikiran sempit (mikro) tapi hendaknya berpikir secara agregat seperti menarik “ benang dari tepung” benangnya dapat diambil tepungnya tidak tumpah.


Demikian tulisan ini kami sampaikan kepada Pemerintah Pengambil Keputusan kiranya tulisan ini bermanfaat karena tulisan ini kami buat berdasarkan kondisi yang kami teliti secara langsung di lapangan. Kesimpulan dan saran yang kami sampaikan dapat dilaksanakan, penelitian ini sengaja kami lakukan karena kecintaan kami pada Pelabuhan Tanjung Priok pusat distribusi perdagangan terbesar di Indonesia.



Dari kami,



BELGHUTAI.

TPK KOJA VERSUS TERMINAL JICT

Menurut sejarahnya UTPK. Tanjung Priok mulai dibangun tahun 1974 ketika kemasan berupa Container mulai masuk ke pelabuhan Tanjung Priok pada waktu itu. Terminal selesai dan diresmikan tahun 1982 oleh Bapak Soeharto Presiden Republik Indonesia pada watu itu. Awal peresmian, Porttainer (CC) UTPK. Tanjung Priok berjumlah enam (6) Unit merk Sumitomo dengan sejumlah Trastainer, RTG, Head Truck dan Chasis. Pertumbuhan arus Container yang pesat yang diangkut kapal-kapal Container, Semi Contaiker dan Feeder memaksa Perum Pelabuhan Indonesia II membangun Terminal Petikemas II di Lapangan Lini II Birai Barat Pelabuhan II dengan luas Lapangan penumpukan sembilan (9) Hektar. UTPK. Tanjung Priok merupakan primadona sumber dana segar bagi Perum Pelabuhan II pada waktu itu sehingga banyak pemilik modal merasa tergiur untuk memiliki Terminal Petikemas di Tanjung Priok. Itu ditandai dengan dibangunnya Terminal PT. SEGORO, rencana pembangunan UTPK. KOJA oleh Humpuss Terminal Container berafliasi dengan PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero). (PELINDO II). Bimantara Group berafliasi dengan Group Perusahaan Domestik dan PELINDO II berencana membangun Terminal Container berskala Mega di Bojonegoro Banten dengan menghabiskan uang lebih kurang tujuh ratus miliar rupiah ketika PELINDO II di Nakhodai Ir. Amir Harbani mantan Direktur Jawatan Perkeretapian pada waktu itu.

Pembangunan UTPK. KOJA dapat dilakukan tahun 1993 setelah lahan seluas 115 Hektar atau setara dengan 1.150.000 meter persegi dibebaskan dari penduduk lima ribu lima ratus (5.500) kepala keluarga (KK). Tetapi sayang, Terminal Petikemas KOJA yang tadinya dirancang Humpuss menjadi terminal terbesar di Asia Tenggara tinggal menjadi angan-angan, lahannya kini malah disewakan PELINDO II kepada Pertamina, PT. Aneka Kimia Raya, PT. Djakarta Lloyd, Graha Segara dan sebagaian atau kurang dari sembilan puluh ribu (90.000) meter persegi dioperasionalkan Mbah Priok. Amburadolnya realisasi pembangunan Terminal Petikemas KOJA berskala Mega, kemungkinannya terjadi karena jatuhnya Rejim Orde Baru secara tidak terduga sehingga pembangunan Lapangan Penumpukan dan Gudang CFS sampai batas jalan Raya Cilincing dan dengan panjang Dermaga seribu delapan ratus (1.800) meter terputus.

Kejatuhan Rejim Orde Baru digantikan pemerintah transisi berdampak pada kekacauan moneter, uang satu dolar amerika serikat (US.$.1) dihargai delapan belas ribu rupiah (Rp.18.000,-), para pengusaha penghutang luar negeri kelabakan bayar pinjaman yang jatuh tempo, kas Negara kosong untuk menggaji pegawai dan tentara pemerintah terpaksa minjam uang pada pihak asing. Untuk mengisi kekurangan likuiditas negara, pemerintah dengan terpaksa menjual sebahagian besar saham BUMN kepada pihak asing. UTPK Tanjung Priok unit usaha PELINDO II menjadi sasaran tembak pengusaha asing, karena terminal ini selain pencetak uang Negara (PELINDO II) posisinya dilihat dari sisi ekonomi, sosial dan politik sangat strategis dengan dukungan kawasan Industri dan jumlah penduduk terpadat di Indonesia.

Dengan dijualnya lima puluh satu (51%) persen saham UTPK. Tanjung Priok kepada pihak Asing (Grosbeak Pte. Ltd) dan dengan berubahnya status dan nama terminal menjadi Terminal PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) menjadi perhatian bagi PT. Humpuss Terminal Petikemas (Container) untuk ikut-ikutan menjual sahamnya kepada pihak asing (PT. Ocean Terminal Petikemas). Bila pada Terminal JICT penguasaan saham didominasi pengusaha asing maka pada Terminal TPK. KOJA penguasaan saham termial didominasi oleh Pelindo II (52,12%) sehingga status Terminal adalah Unit Usaha PELINDO II.

Yang kini menjadi pertanyaan bagaimanakah status karyawan yang direkurt PT. HTP, apakah mereka menjadi karyawan BUMN PELINDO II atau karyawan pembeli saham HTP. Secara phisikologi kejelasan status karyawan ini sangat mendorong motifasi dan loyalitas karyawan kepada perusahaan. Kita dapat mencermati status karyawan pada Terminal JICT yang kini di operasionalkan Hutchison Port Holding, group Grosbeak Pte. Ltd, karyawan berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SLTA) yang baru direkrut oleh JICT dihargai dengan upah sebesar delapan juta rupiah (Rp. 8.000.000,00) diluar premium bulanan dan bonus tahunan. Status mereka jelas, yang pensiun hasil rekrutan JICT akan diberikan pesangon lebih dari enam ratus juta rupiah (Rp. 600.000.000,00), mereka sangat termotivasi dan loyal pada perusahaan, mereka luar biasa alat yang tadinya warisan Perum Pelabuhan relatif sudah tua sampai saat ini masih gress. Bagaimana dengan operasional TPK. KOJA yang dinakhodai PELINDO II, sangat-sangat memperihatinkan. Untuk melaksanakan Delivery dua atau tiga Boxes Container pada saat ada kegiatan bongkaran dan muatan (eksport) butuh waktu delapan belas (18) jam mengeluarkannya dari Lapangan Terminal TPK. KOJA. Karena apa ? sebab sebahagian alatnya (RTG) yang dibeli oleh HTP tahun 1996 banyak rusak, maka proritas pelayanan fokus pada kegiatan bongkaran dan muat sementara Container yang berstatus SPPB numpuk dilapangan.

Hasil penelitian yang kami dapat dari dilapangan dengan menggunakan metode wawancara kepada para EMKL, petugas lapangan Terminal TPK. KOJA, JICT dan PT. MAL dan juga mengamati langsung kegiatan dilapangan dimulai dari Kantor P2, Seksi Administrasi Manifest, Staf Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) sampai Lapangan (Yard) Terminal kami nenemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Menumpuknya Container Import di Lapangan (yard) TPK. KOJA dimana YOR dapat mencapai seratus sepuluh persen (110%) saat kedatangan kapal Generasi ke III atau ke IV dua unit sekaligus disebabkan beberapa faktor antara lain :
1) Banyak alat yang rusak (RTG).
2) Ratio luas lapangan kurang memadai di banding dengan panjang dermaga plus volume kunjungan kapal perbulan.
3) Container SPPB (delivery) banyak tertimbun di lapangan sehingga mengacaukan sistem perencanaan.
4) Pemindahan Lokasi Penimbunan Container ke Lapangan TPS PELINDO II dan atau TPS swasta di luar pelabuhan kurang berjalan lancar.
b. Penumpukan Container Import di Lapangan (yard) JICT dapat mencapai YOR 110% pada saat Terminal menerima kedatangan kapal Generasi ke tiga (3) empat (4) unit ) sekaligus disebabkan beberapa faktor antara lain :
1) YOR 85% yang ditetapkan Dirjen. Bea dan Cukai melalui Peraturan Direktur Jenderal Bea an Cukai Nomor: P-26/BC/2007 tanggal 30 Agustus 2007 Tentang Tatacara Pelaksanaan Pindah Lokasi Penimbunan Barang (Container) Impor yang Belum Selesai Kewajiban Pabeannya.
2) Container Impor berstatus SPPB mengendap di Lapangan sehingga pada saat melakukan kegiatan bonkaran di dermaga operator RTG banyak melakukan shifting guna mendapatkan ruang penumpukan.
3) Penumpukan pada kapasitas lapangan 95% menyulitkan alat (RTG) melakukan manuver pindah block karena ruang putaran roda RTG diisi Container.
4) Ongkos penumpukan dilapangan relatif murah dan tidak diberlakukan denda bagi Container SPPB sebgai penyebab Importi berlama-lama menimbun barangnya pada terminal.
c. Terminal PT. MAL. (Ex. SEGORO) Di Kade Nomor 115X kasusnya hampir sama dengan TPK. KOJA, yaitu Lapangan pendukung sangat sempit karena Terminal ini tadinya adalah Terminal General Purpose disulap menjadi Terminal Container.

KESIMPULAN :

1. Pada Terminal TPK. KOJA Jl. Timor No. 2 Koja Utara pelayan Delivery, Overdue sangat lambat terkesan macet karena Alat banyak yang rusak dan Lapangan (yard) sempit dan barang SPPB menumpuk di lapangan.
2. Tingginya YOR rata-rata yang ditetapkan mantan Derektur Jenderal Bea Dan Cukai sebesar 85% menyulitkan pihak Terminal JICT menghadapi lonjakan arus container yang tiap saat dapat booming.
3. Container SPPB yang tetap menumpuk dilapangan menyulitkan Terminal JICT mendapat ruang pada saat kegiatan bongkar dan muat (eksport).
4. Dengan YOR lapangan mencapai sembilan puluh persen (90%) akan berdampak negatif pada Terminal JICT karena banyak kegiatan shifting (pemborosan energy) dan melelahkan karyawan (tenaga kerja).
5. Pada Terminal PT. MAL di Kade 115X, kasusnya hampir mirip dengan UTP. KOJA yaitu: Lapangan (yard) sempit peralatan relatip tua akses masuk sempit.

SARAN.

1. Agar karyawan TPK. KOJA termotivasi dan loyal, seyogyanya status Karyawan dan Terminal di perjelas.
2. Luas Lapangan Penumpukan Terminal ditambah dan Alat yang rusak diganti, untuk melayani kegiatan delivery dan onerdue digunakan Reach Stackers karena mobil.
3. Container SPPB yang tetap menumpuk dilapangan segera dikenakan sanksi denda penumpukan sebesar 500% dari tarif dasar per hari sesuai dengan Keputusan Direksi Pelabuhan Indonesia II (Persero) Nomor: HK.56/1/14/PI-II-11.
4. Agar kegiatan di Terminal JICT cepat, lancar dan efisien (tidak boros), seyogyanya besaran YOR diperkecil sampai 60%.
5. Untuk Container SPPB yang tertimbun di Lapangan Penumpukan segera dipindah lokasikan atau dikenai denda sebesar 500% sesuai dengan Surat Keputusan Direksi Pelabuhan Indonesia II (Persero).
6. Container Impor yang masih mengalami hambatan atas dokumennya (redress) seyogyanya memindahkan barangnya pada Lapangan TPS. PELINDO II karena tarif pelayanan yang diberlakukan relatif murah.
7. Pihak PELINDO II Cabang Tanjung Priok seyogyanya cepat mengurus ijin TPS (Lapangan 216X, Lapangan 217X Lapangan 218X, Lapangan 219X dan Lapangan 210X) pada Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai tanjung Priok agar dapat mengurang ekonomi biaya tinggi yang dipikul barang yang dibongkar pada pelabuhan Tanjung Priok.
8. Untuk menngatasi ekonomi biaya tinggi di pelabuhan Tanjung Priok (kemacetan, double handling, pungutan liar) seyogyanya Rencana pembangunan Pelabuhan Impian (Dream Port) dari Kali Baru atau Marunda menjorok ke tengah laut (reklamasi) dua juta (2.000.000) meter persegi segera diwujutkan.
9. Dalam kurun waktu menengah pendek pihak Bea dan Cukai pelabuhan Tanjung Priok seyogyanya jangan berpikiran sempit (mikro) tapi hendaknya berpikir secara agregat seperti menarik “ benang dari tepung” benangnya dapat diambil tepungnya tidak tumpah.


Demikian tulisan ini kami sampaikan kepada Pemerintah Pengambil Keputusan kiranya tulisan ini bermanfaat karena tulisan ini kami buat berdasarkan kondisi yang kami teliti secara langsung di lapangan. Kesimpulan dan saran yang kami sampaikan dapat dilaksanakan, penelitian ini sengaja kami lakukan karena kecintaan kami pada Pelabuhan Tanjung Priok pusat distribusi perdagangan terbesar di Indonesia.



Dari kami,



BELGHUTAI.

Selasa, 21 Juni 2011

SEKSI ADMINISTRASI MANIFEST KANTOR BEA DAN CUKAI PELABUHAN TG. PRIOK PENGHAMBAT KEGIATAN CONTAINER PINDAH LOKASI KE LAPANGAN PELINDO II

Upaya Container Pindah Lokasi (overdue) yang dilaksanakan Terminal Container dari Terminal TPK. KOJA, PT. JICT, Terminal TBB, PT. MAL dan Terminal Regional Harbour (RH) bukan prinsif suatu pelabuhan. Tapi karena keterbatasan Lapangan (yard) suatu terminal seperti Terminal PT. Mustika Alam Lestari (MAL), Terminal Besi Bekas (TBB), Terminal Petikemas KOJA, dan Terminal Jakarta International Container Terminal (JICT) maka Container Pindah Lokasi (Overdue) dilaksanakan agar kapasitas Lapangan tidak mencapai YOR yang memungkinkan terjadinya stagnan. Kenyataannya pelaksanaan Container Pindah Lokasi pada Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang dikelola PELINDO II Cabang Tanjung Priok tidak mulus, untuk menyelesaikan clearence Dokumen Container Pindah Lokasi Penumpukan (PLP) butuh waktu sembilan puluh enam (96) jam dengan rincian, di kantor P2 Bea dan Cukai 12 Jam dan pada Kantor Seksi Administrasi Manifest dapat mencapai delapan puluh empat (84) jam modusnya mungkin karena Container yang masuk pada Lapangan PELINDO II tidak menyediakan dana pengurusan sementara pada TPS swasta yang memasang tarif yang relatif tinggi pengurusannya sangat lancar paling lama 18 jam ada apa dibalik itu.

Menurut informasi yang kami dapat di lapangan, bahwa saudara Ilham dan Handoko sengaja memperlambat selesainya dokumen PLP agar Importir/ EMKL relasi mereka dapat segera mengurus SPBB Container. Dengan dikeluarkannya SPBB dari Kantor Bea dan Cukai maka Container Impor yang di timbun pada Lapangan Terminal tidak dapat dipindahkan sementara kapasitas lapangan telah meningkat sampai seratus persen (100%) sehingga kegiatan muat, bongkar, dan delivery terganggu (macet).

Atas dasar pengamatan kami situasi dan kondisi apapun yang terjadi di Terminal Khusus Container tidak menjadi perhatian bagi Ilham, Handoko dan Achmad Fatoni selaku kepala seksi yang membawahi ke dua oknum Bea dan Cukai tersebut. Mungkin Achmad Fatoni dan stafnya terlalu lama di seksi administrasi manifest sehingga dimungkinkan punya jaringan khusus dengan pemilik TPS swasta di dalam maupun di luar pelabuhan. Selain itu, Handoko dan Achmad Fatoni diperkirakan juga punya hubungan kuat dengan para Importir karena kedua oknum tersebut jarang ada ditempat tetapi lebih banyak diluar kantor.


Pengamat,


J A M U K A

Sabtu, 04 Juni 2011

TPK. KOJA

Awalnya, di tahun 1991 pembangunan Terminal Petikemas Koja dikawasan sampur Jakarta Utara kurang disepakati oleh para Direksi PT. PELINDO II pada waktu itu, idealnya pembangunan Terminal Petikemas Pelabuhan Tanjung Priok berskala mega proyek adalah kearah laut dengan jalan melakukan reklamasi jauh menjorok ketengah laut sampai memperoleh luas ruang sesuai kebutuhan.
Ide yang brilian itu disalah artikan oleh penguasa Rejim Orde Baru, penggantian para direksi dilaksanakan, Direktur Utama yang sudah malang melintang di pelabuhan, menguasai ilmu ekonomi dan ekonomi kepelabuhanan digantikan oleh Amir Harbani tadinya berkecimpung pada usaha transportasi perkereta apian yang tiap tahun rugi melulu. Setelah melalui perundingan yang alot para penduduk yang telah bermukim di Kelurahan Koja Utara sejak jaman penjajahan Belanda, terpaksa rela digusur dari tanah HPL pemerintah itu takut dituduh “penghambat pembangunan” ekonomi Negara.
Setelah lima ribu lima ratus kepala keluarga tergusur dari pemukiman turun temurun mereka di Koja Utara, pembangunan pelabuhan Terminal Petikemas Koja oleh PT. (Persero) PELABUHAN INDONESIA II berafiliasi (patungan) dengan PT. Humpuss Terminal Petikemas.

Rencana pembangunan Terminal Petikemas Koja berskala Mega Proyek diatas lahan lebih kurang 115 Hektar hanya janji kosong, karena dimulai dari Pemerintahan Rejim Orde Baru sampai Pemerintahan Rejim Reformasih jilid dua, lahan yang digunakan Terminal Petikemas Koja untuk peperluan dermaga, apron dan lapangan penumpukan Petikemas Import dan Eksport 21,80 Hektar dengan panjang dermaga 650 Meter. Padahal bila management PELINDO II memahami Ilmu Ekonomi Perusahaan, Ilmu Ekonomi Mikro dan Ekonomi pembangunan, tentu mendahulukan mana yang perioritas dan mana yang kemudian, mana yang memberi kemanfaatan menengah pendek dan mana yang jangka panjang. Mestinya PELINDO II membangun Terminal Petikemas Koja berskala Mega Proyek dengan panjang dermaga 1.800 Meter (Kalimati Koja - dermaga Pertamina) dengan luas Lapangan 105 Hektar didukung empat (4) unit Gudang CFS dan kelengkapan fasilitas pendukung operasional terminal, tidak menghamburkan dana kurang dari trilinnan rupiah untuk membebaskan lahan ratusan hektar di Bojonegoro yang kini menjadi tidak jelas karena setengahnya kembali dihuni masyarakat. Bila kita hitung cost of capital (biaya modal) dari uang yang tertanam di Banten itu selama 15 tahun, berapa kerugian yang dipikul PT. (Persero) PELABUHAN INDONESIA II (Pemerintah). Bila dana pembebasan Lahan Bojonegoro di investasikan untuk membangun TERMINAL PETIKEMAS KOJA diatas lahan 115 Hektar, maka keuntungan yang didapat selama lima belas (15) tahun minimal mencapai Sembilan puluh (90) triliun rupiah, dan Petikemas tidak perlu acak-acakan di pindah lokasikan (overbrengen) sampai ke tanah merdeka Kali Baru dan Jalan Yos Sudarso Plumpang. Atas dasar kebiasaan perilaku pejabat di Indonesia yang menduduki rating ke 5 Negara terkorup di dunia dan nomor satu (1) di Asia Pasifik, bahwa pembelian barang dan pemberian pekerjaan milik Pemerintah atau BUMN/BUMD sarat dengan muatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Banyak BUMN/BUMD yang masuk alam kancah persaingan usaha gulung tikar bila tidak disubsidi pemerintah, sementara para pejabatnya hidup serba berkecukupan.

Terminal Petikemas Koja terletak diatas lahan Kelurahan Koja Utara yang tadinya punya lahan cadangan sembilan puluh (90) hektar, kini tinggal kenangan lahannya sebahagian besar telah usahakan oleh PT. AKR, Pertamina Pemasaran III, dan perluasan dan pengembangan PT. Jakarta International Container Terminal (JICT).
Kini TPK. KOJA perusahaan patungan antara PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II dengan PT. Ocean Terminal Petikemas merasa kesulitan menghadapi lonjakan arus Container Import dan Eksport, itu ditandai dengan tingginya YOR lapangan dapat mencapai 105% bila Terminal menerima 2 unit Container Mother Vessel. Untuk mengurang beban lapangan ini, upaya Delivery (uitslagh) dan Pindah Lokasi (Overbreengen) diupayakan hari per hari namun kenyataannya kurang efektif karena ratio Rubber Tyred Gantry Cranes (RTG) kurang sesuai dengan volume kegiatan di lapangan dan RTG pada umumnya sudah tua banyak yang rusak. Agar pelayanan di TPK. KOJA cepat, lancar dan murah, disarankan kepada terminal pada saat menerima bongkaran Kapal Container Generasi ke IV - V terminal harus berani investasi peremajaan alat atau paling tidak menyewa Super Stacker 2 sampai 3 unit tiap kegiatan yang bersamaan (bongkar/muat, delivery dan overbreengen).




Dari kami pengamat,



B E L G H U T A I

BEA DAN CUKAI TANJUNG PRIOK

Sejak Departemen Keuangan di Nakhodai DR. Sri Mulyani, PHD tahun 2009, banyak terobosan dan reformasi yang dilakukan oleh beliau pada lembaga keuangan Negara ini, Direkorat Pajak, Direktorat Bea dan Cukai dan Lembaga perbankan di reformasi itu ditandai dengan penangkapan beberapa sataf Bea dan Cukai di pelabuhan Tanjung Priok. Upaya meningkatkan pendapatan via pajak, bea, cukai dan pendapatan Negara non pajak terus beliau dorong agar target Anggaran Pendapatan Belanja Negara tercapai. Upaya dan kerja keras Menteri Keuangan Sri Mulyani patut kita acungkan jempol, karena dalam ketegaran dan kecerdasan beliau, beliau rela menanggalkan jabatan Menteri Keuangan sebagai akibat dari kesalahan yang belum tentu dia lakukan.

Ketika Doktor Sri Mulyani meninggalkan Negara yang dia cintai, masih terasa sisa kerja kerasnya, Petugas Pajak relative cepat melakukan pelayanan, petugas Bea dan cukai khususnya di Pelabuhan Utama Tanjung Priok belum berani meminta uang pelicin kepada perusahaan atau individu yang mengurus pengeluaran barang import dari pelabhan Tanjung Priok.
Lebih kurang setahun telah berlu setelah kepergian Sri Mulyani, penyakit lama yang telah ada sejak jaman Purba kembali kambuh, kolusi penggelapan pajak mulai marak, pungutan liar yang dilaksanakan staf dan Bea dan Cukai Tanjung Priok mulai terasa menyakitkan kata petugas ekpedisi.

Atas dasar pengakuan dari beberapa oknum tersebut, kami melakukan penelitian pada skop yang lebih kecil yaitu proses pemindah lokasian Container Import dari Terminal PT. MAL, PT. Tempuran Mas, PT. Jakarta International Container Terminal dan TPK. KOJA. Pada kesempatan ini, pembaca perlu mengetahui secara mendetail bahwa dilakukannya Pemindah Lokasian Container Impor yang masih dibawah pengawasan pabean, karena keterbatasan luas lapangan (yard) penimbunan Container pada Terminal. Idealnya untuk satu terminal YOR lapangan mestinya enampuluh lima persen (65%) dari kapasitas lapangan terpasang agar manuver masuk dan keluar Container tidak terhambat, bila YOR telah mencapai 80% ketika ada eksport dan bongkaran Container maka situasinya pasti akan menghambat gerakan Container Uitlagh (delivery) dan tempat penumpukan Container pasti acak-acakan. Agar kemungkinan lapangan (yard) tidak stagnan maka Container Pindah Lokasi (Overbrengen) dilakukan pada depo Container (TPS) yang telah mendapat ijin dari kantor Bea dan Cukai pelabuhan Tanjung Priok yang letaknya jauh di luar pelabuhan, misalnya PT. Airin, PT. Transporindo di Kali Baru dan beberapa perusahaan DP3 di Jalan Yos Sudarso.

PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II sebagai operator tunggal di pelabuhan Tanjung Priok sangat berkepentingan melancarkan arus barang (Container/Gc), itu ditandai dengan membuka Lapangan TPS. 207X Timur, 215X, dan Lapangan TPS 106X Utara tempat penimbunan Container Impor yang belum menyelesaikam pabean, sementara lahan Koja Utara yang yang tadinya diperuntukkan pembangunan Gudang CFS dan Lapangan Penumpukan Container kini digunakan untuk penimbunan Kimia Cair dan perluasan Perkantoran Pertamina.

Pemindah Lokasian Container Import dari PT. JICT, PT. MAL, PT. Tempuran Mas dan TPK. KOJA harus dilakukan bila YOR lapangan (yard) telah mencapai diatas 85% berdasarkan peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor. P-26/BC/2007 tanggal 30 Agustus 2007. Kita asumsikan Terminal JICT dan TPK. KOJA, ketika YOR lapangan telah mencapai delapan puluh persen (80%) dan terminal akan melayani tiga (3) unit Mother Ship Container generasi ke empat, maka terminal akan pontang panting melakukan shifting guna menyediakan ruang penimbunan Container bongkaran dan muatan. Situasi kritis tersebut mesti diselesaikan dengan upaya pemindah lokasian Container bongkaran dari terminal-terminal internasional ke Lapangan TPS yang berada diseputar pelabuhan Tanjung Priok.

Ketika pihak Operator Pelabuhan perusahaan plat merah berinisiatif membangun lapangan penumpukan Container Impor dengan kelengkapan fasilitasnya, pihak Kantor Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok kurang menyambut dengan baik, itu ditandai dengan tertundanya ijin TPS dari beberapa lapangan milik Pelindo II yang berstandar TPS dan lokasi ideal. Pihak Bea dan Cukai mulai dari Kepala Kantor sampai Kepala Seksi Administrasi Manifest Achmad Fatoni, Handoyo dan Ilham terkesan arogan dan mempersulit proses penyelesaian dokumen (PLP) yang dikerjakan oleh Pelindo II tetapi bila penarikan Container Pindah Lokasi yang dilaksanakan oleh pengusaha swasta DP3 (TPS) di luar pelabuhan prosesnya sangat lancar dan cepat, yang menjadi pertanyaan ada apa dibalik itu.

Untuk menyelesaikan penarikan Container Pindah Lokasi dari JICT, PT. MAL dan TPK. KOJA para pengusaha harus merogoh koceknya untuk para petugas Bea dan Cukai di mulai dari pengambilan Segel Kuning dan PLP harus membayar pada hangar Bea dan Cukai Terminal asal sebesar lima belas ribu rupiah (Rp. 15.000,) per Container. Mencetak SP2 (Tila) di biling Terminal, diharuskan membayar sepuluh sampai dua puluh ribu rupiah (Rp. 20.000,-) per Container. Pada gate out, pagi sampai siang pengusaha harus membayar sepuluh ribu (Rp.10.000,-) per Container, diatas pukul 17.00 petugas Bea dan Cukai Gate mewajibkan membayar sebesar lima belas ribu rupiah (Rp. 15.000,-) per Container alasannya lembur, apa pemerintah tidak sanggup membayar lembur petugas Bea dan Cukai ini. Pada lapangan TPS tempat menerima Container Pindah Lokasi, para pengusaha diwajibkan membayar lima belas ribu rupiah per Container lagi-lagi alasan lembur.

Bila seperti ini mental para pegawai Bea dan Cukai sebaiknya dipindahkan saja ke Pulau Irian untuk penggojlokan menthal karena mereka rata-rata terlalu lama di pelabuhan Tanjung Priok bahkan ada yang sudah lebih dari lima tahun.

Dari pengamat


C H A G A D A I