Sabtu, 02 Februari 2013

PT. TRI BINTANG LAUTAN PESAING BERAT PT. MULTI TERMINAL INDONESIA (MTI)

PT. Tri Bintang Lautan (TBL) milik " IHKSAN GHANI " perusahaan yang bergerak pada jasa pergudangan TPS kini semakin eksis. Tiga unit gudang milik PT. BERDIKARI Tbk yang disewa Ihksan Ghani terletak di Jalan Yos Sudarso nomor 11 Jakarta Utara. Awalnya gudang ini terkesan kumuh tidak menarik karena sudah tua. Atapnya banyak yang bocor, akses jalan masuk seperti kubangan dan lapangannya banyak ditumbuhi rerumputan. Setelah PT. TBL menyewa ke-tiga gudang itu, rehabilitasi dilakukan. Akses jalan masuk gudang di cor beton, atap yang tadinya banyak bocor ditambal dan diperbaiki, lapangan yang tadinya berlumpur bila musim hujan, berdebu pekat bila musim kemarau diberi pengerasan. Pokoknya pada tahun pertama, PT. TBL harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk membayar sewa dan perbaikan gudang serta fasilitasnya. Pengelolaan ke-tiga gudang TBL ini, diserahkan IKHSAN GHANI pada Wisnu dan Andre. Wisnu diangkat oleh Ikhsan Ghani sebagai Genaral Manager dan Andree sebagai Manager perusahaan yang fokus untuk mengkoordinir para pekerja di Gudang. Wisnu lebih banyak keluar market mencari pelanggan jasa gudang. Wisnu, General Manager PT. TBL diberi kuasa penuh untuk menetapkan kebijakan dan kebijaksanaan perusahaan pada bidang pengelolaan gudang. Pada tahun pertama dan tahun ke-dua ketika TBL mengusahakan ke-tiga gudang ini, sepi dari pelanggan. Tata letak gudang yang kurang strategis jauh dari pelabuhan dengan penampilan yang terbelakang menyebabkan pelanggan jasa gudang enggan menggunakannya. Wisnu, General Manager perusahaan, menggunakan segala cara untuk menarik para pemakai jasa gudang agar bersedia menggunakan jasa gudang TBL. Jerih payah dan kegigihan Wisnu dan Andree, lambat laun akhirnya membuahkan hasil juga. Beberapa pelanggan baru tertarik dengan tarif yang ditawarkan Wisnu lebih murah dibanding tarif pergudangan TPS yang berada di dalam pelabuhan. Tetapi consolidator lama kurang tertarik menggunakan gudang TBL, mereka lebih tertarik menggunakan gudang PT. Multi Terminal Indonesia (MTI) di Jalan Banda, gudang PT. Agung Raya di Jalan Bangka, Gudang PT. MKT di Jalan Raya Pelabuhan dan gudang PT. Dwipa di Jalan Sulawesi pelabuhan Tanjung Priok. Selain tata letaknya sangat strategis, gudang dibangun menurut kaidah gudang modern dengan fasilitas lapangan yang baik. Tanpa menggunakan perhitungan yang cermat, tanggal 1 Agustus 2012 PT. Multi Terminal Indonesia (MTI) anak perusahaan PT. PELABUHAN INDONESIA II (Persero) perusahaan plat merah ini menaikkan tarif penanganan Cargo Status LCL di Gudang CDC. Kenaikan harga yang dibebankan pada Cargo LCL tidak tanggung-tanggung, diatas dua ratus persen per meter kubiknya, pada pelayanan container sebesar seratus persen. PT. MTI mncoba membangun "Kartel" dengan para pengusaha pergudangan TPS. Dengan mengatas namakan organisasi Asosiasi Pengusaha Pergudangan TPS di Pelabuhan Tanjung Priok dan seputarnya, PT. MTI mengeluarkan Surat Edaran yang ditanda tangani oleh DEDE R MARTIN Plt Direktur Utama PT. MTI. Kenaikan tarif ini disambut gembira oleh para pengusaha Gudang TPS Tanjung Priok. Karena dengan tarif lama gudang CDC-MTI para Pengusaha Swasta pergudangan telah menuai keuntungan yang besar, apa lagi dengan tarif yang disodorkan MTI, " dalam hati mereka mentertawakan kebodohan Management MTI". Kebodohan Management MTI ini dimanfaatkan oleh para pengusaha Swasta pergudangan terutama pengusaha di luar pelabuhan Tanjung Priok seperti PT. Tri Bintang Lautan (TBL) di Jalan Yos Sudarso nomor 11, PT. Airin di Kali Baru Jakarta Utara. Belum lewat satu bulan, Wisnu General Maneger PT. TBL, menawarkan harga penanganan Cargo LCL di gudang TBL jauh dibawah harga jasa Gudang CDC-MTI. Bila di Gudang CDC penanganan cargo ditetapkan sebesar 150.000, rupiah per meter kubik, TBL dapat menawarkan jasa Gudang TBL 100.000, rupiah per meter kubik. Bila harga penanganan container 20 feet dari Terminal JICT 1, TPK. KOJA dan Terminal MAL ke Gudang CDC sebesar 1.050.000,- (satu juta lima puluh ribu rupiah) per Box, TBL dapat menawarkan harga sebesar 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) per Box. Kalau sewa gudang CDC-MTI, Rp 2.750 untuk Masa I, Rp. 5.500 Masa II, dan Rp. 8.250 Masa III per hari, maka PT. TBL menawarkan Rp. 5.000,- per hari flat atau Rp. 2.500,- untuk Masa I dan Rp. 5.000,- untuk Masa II per hari. Tidak lama kemudian, setelah penurunan harga pelayanan container dan penanganan cargo digudang dilakukan Wisnu, General Manager TBL, para pengusaha pergudangan Swasta di pelabuhan Tanjung Priok tidak mau ketinggalan, mereka memberi kebijaksanaan penurunan tarif kepada pelanggan jasa gudang. Mereka tidak lagi mengindahkan Surat Edaran PT. MTI tentang kenaikan tarif. Dengan tarif lama saja mereka telah mendulang keuntungan. Untuk apa menggunakan tarif baru yang arogan tetapi gudang sepi (kosong). Mereka lebih memilih, lebih baik menjual suatu produk yang keuntungannya seribu rupiah per unit dengan volume penjualan 1.000 unit dari pada menjual produk yang sama dengan keuntungan tiga ribu rupiah per unit tapi volume penjualan sebanyak 150 unit. Pembangkangan TBL yang diikuti oleh perusahaan pergudangan lainnya, memberi buah yang pahit pada PT. MTI. Sebahagian besar para pelanggan gudangnya hengkang, mereka memilih Gudang TBL di Jl. Yos Sudarso atau Gudang APW maupun Gudang PT. Dwipa di Jl. Sulawesi Tanjung Priok dan Gudang PT. Airin di Kali Baru. Para pengusaha pergudangan Swasta ini lebih fleksibel dan dinamis dalam memberi harga serta pelayanan pada pelanggan. Sementara Gudang CDC-MTI telah terstigma, bahwa pelayanan di Gudang CDC-MTI mahal dan banyak pungli. Ketika masalah hengkangnya para pelanggan pemakai jasa Gudang CDC-MTI ke Gudang pengusaha Swasta karena mahalnya biaya penanganan Cargo LCL di CDC-MTI kepada staf keuangan MTI, mereka dengan entengnya membenarkan hal itu. Mereka mengatakan, " kenaikan tarif pelayanan container dan cargo merupakan kebijakan management ". Mereka merasa tidak perduli pada apa yang terjadi, mau gudang penuh kek, atau gudang kosong yang pening mereka masih dapat gaji, kata mereka dengan datar. Penggelontoran kebijakan menaikan tarif yang gila-gilaan dilakukan Management MTI, merupakan cara berpikir yang kurang cerdas dalam berbisnis. Kalau tadinya berusaha hanya mengandalkan kekuasaan, jaman kini tidak laku lagi. Para pengusaha Swasta tidak bisa didikte pengusaha plat merah, kekeliruan dan kekakuan kebijakan perusahaan plat merah, menjadi peluang dan kesempatan bagi para pengusaha Swasta. Kiranya kebijakan menaikan tarif tinggi jasa pergudangan di pelabuhan, menjadi pelajaran berharga bagi MTI untuk tidak gegabah dan tergopoh-gopoh dalam membuat suatu keputusan kebijakan. Penulis adalah Thasar Uryang Kabu.

Jumat, 01 Februari 2013

MITRA KERJA PLP TERMINAL III PT. PELABUHAN INDONESIA II (PERSERO) CABANG TANJUNG PRIOK RESAH KARENA DI ANAKI TIRIKAN MANAGER ADMINISTRASI DAN MARKETING

Para mitra kerja Pindah Lokasi Penimbunan (PLP) Cargo Breakbulk/Dry Cargo Terminal III Cabang Tanjung Priok merasa resah dan cemburu karena, sejak awal bulan Oktoberber 2012 tidak diberikan pekerjaan pengurusan PLP oleh SUNU BEKTI PUDJOTOMO Manager Marketing dan Administrasi Terminal III. Awal dari pencekalan terhadap lima (5) mitra kerja tersebut, dimulai sejak adanya pemberitaan Harian Business Indonesia tanggal 19 September 2012. Inti dari pemberitaan Harian Business Indonesia mengatakan bahwa, “ tarif relokasi Cargo Breakbulk/Dry Cargo di Terminal III dan Terminal II liar dan mahal tanpa payung hukum yang jelas.” Sejak adanya berita di koran ini, Sunu Bekti Pudjotomo menggunakan kesempatan untuk menyingkirkan lima (5) Mitra Kerja PLP Terminal III yaitu; PT. Asrin Dwi Tunggal, PT. Panca Sarana Samudra, PT. Anugerah Karya Perdana, PT. Berkat Panduan Hikam dan PT. Sampurna Sarana Sakti dengan alasan menaikan tarif dan kurang loyal pada Pimpinan Terminal III. Menurut dua (2) pimpinan perusahaan mitra PLP yang disingkirkan itu, yang menaikan tarif dan menambahkan surcharges pada Cargo Breakbulk pastilah empat (4) perusahaan binaan Sunu Bekti Pudjotomo dan Riswandi pimpinan PT. Royal Logistic. Karena yang mendapat kerja pengurusan PLP Cargo Breakbulk/Dry Cargo dari Terminal III dan Terminal II selama ini adalah mereka empat (4) perusahaan, yaitu, PT. Wasila Cahaya Abadi, PT. Royal Logistic, PT. Adi Ageng Abadi dan PT. Kontener Prima Logistama. Bagaimana kita tidak cemburu, imbuh kedua pimpinan perusahaan yang tidak bersedia disebut jati dirinya, kalau arus barang Cargo Break Bulk/Dry Cargo lewat Terminal III dan Terminal II pada tahun 2012 sebesar 10.000.000 Ton (Harian Businiss Indonesia) yang di relokasi “ 5.000.000 Ton “. Bila yang dikerjakan oleh lima (5) perusahaan tersingkir sebanyak 5% dari cargo relokasi, maka sembilan puluh lima persen atau sebanyak 4.750.000 Ton dikerjakan oleh 4 (empat) perusahaan binaan Sunu Bekti Pudjotoma dan Riswadi setara dengan Rp. 617.500.000.000,- (Enam ratus tujuh belas milyar lima ratus juta rupiah). Keuntungan dari relokasi cargo beakbulk/dry cargo ini diperkirakan sebesar 30% (tiga puluh persen), maka didapat keuntungan kotor sebesar “ seratus delapan puluh lima miliar dua ratus lima puluh juta rupiah “ (Rp, 185.250.000.000,-). Yang jadi pertanyaan, berapa besar rupiah di dapat Sunu Bekti Pudjotomo selaku owner pemberi kerja dan berapa besar di dapat Riswandi selaku Koodinator dan pimpinan perusahaan PT. Royal Logistic ? Prediksi Tahun 2013, ujar mereka, “ bongkaran Cargo Breakbulk/Dry Cargo via Terminal III dan Terminal II sebanyak 12.000.000 Ton. Bila direlokasi sebanyak 8.000.000 Ton “, berapa milyar keuntungan empat (4) perusahaan binaan Sunu Bekti Pudjotomo dengan Riswandi kalau ke-lima perusahaan mitra Terminal III meninggalkan arena pertandingan. Tapi menurut mereka, mereka tidak sudi membiarkan Sunu Bekti Pudjotomo melakukan " Kolusi dan Nepotisme di Terminal III ", mereka akan mengadakan gerilya bila perlu menghadap Menteri BUMN atau Ketua KPK. Dari masukan yang kami dapat dari ke-lima perusahaan mitra Terminal III ini, seyogyanya saudara Sunu Bekti Pudjotoma beserta dengan rekannya segera diperiksa oleh General Manager PT. Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok. Tidakan nekad yang dilakukan Manager Marketing dan Administrasi Terminal III tidak sesuai lagi dengan cita-cita reformasi dan demokrasi tahun 1998. Dimana cita-cita mahasiswa dan pemuda pada waktu itu adalah menghapuskan " Korupsi, Kolusi dan Nepotisme " dari bumi Indonesia. Karena seorang pejabat mestinya melayani masyarakat dengan ikhlas dan berjuang untuk membangun terciptanya keadailan bukan malah sebaliknya. Hulagukhan.