Kamis, 10 Maret 2011

BAHAYA KORUPSI, KOLUSI, NEPOTISME

Pada negara-negara terbelakang dan sedang berkembang Korupsi berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang di Negara itu mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat rendahan korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan yang telah mengakar pada masyarakatnya. Dalam seluruh hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga survey independen dunia pada semua Negara mulai dari Negara maju (modern) sampai pada Negara terbelakang, didapat hasil yang konstan dari tahun ke tahun bahwa tingkat ranking tertinggi korupsi terdapat pada Negara-negara terbelakang dan Negara Sedang Berkembang.

Di Indonesia perkembangan korupsi juga menggelora sejak tengahan orde baru sampai kini, itulah sebabnya diawal pemerintahan Ibu Megawati Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk guna meredam perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang cenderung mewabah pada lapisan Birokrasi, Lembaga Tehormat dan Institusi swasta. Namun hingga kini pemberantasan Korupsi belum menunjukan titik terang itu dilihat dari peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara, Indonesia masih tinggi wabah korupsinya. Itu ditandai dengan banyaknya kasus bermuatan petensi korupsi, kasus yang sedang ditangani dan kasus korupsi yang telah dituntaskan KPK. Betapa ironis dan menyedihkan kondisi yang dialami bangsa Indonesia saat ini kalau pada jaman orde baru KKN merambah dari Jakarta kemana-mana itu memang mesti demikian, karena yang punya negara hanya satu orang. Kini yang punya negara katanya rakyat, Presiden kepala pemerintahan dipilih rakyat, Lembaga yang mewakili rakyat dipilih rakyat tapi yang menegakan keadilan dan peraturan tidak dipilih rakyat itulah sebabnya tidak berpihak pada rakyat karena tidak dipilih rakyat. Yang dipilih atau tidak dipilih semua membingungkan rakyat, lagi-lagi yang menjadi kambing hitam, kambing coklat dan atau kambing belang adalah rakyat, jadi yang menjadi pelengkap penderita adalah rakyat.

Agar rakyat selamanya tidak menjadi pelengkap penderita dalam bernegara dan berbangsa, rakyat harus cerdas, punya pengetahuan dan berkarakter sehingga mengetahui keburukan dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Bila KKN dapat dienyahkan dari bumi pertiwi ini maka tidak mustahi rakyat akan merasakan dan mengalami apa yang dinamakan “gemah ripah loh jinawi” yaitu rakyat cukup sandang pangan, papan, pendidikan gratis atau terjangkau, dan lapangan pekerjaan tersedia, di Instansi Pemerintah, Keamanan/Pertahanan Negara, BUMN dan Instansi Swasta tanpa merogo saku.

Dari jaman kolonial belanda sampai Indonesia merdeka praktek KKN sebenarnya sudah ada buktinya VOC perusahaan dagang monopoli Belanada bangkrut karena korupsi, akhir pemerintahan rejim Orde Baru kas Negara kosong tidak punya uang, hutang Negara dimana-mana melilit pinggang padahal Indonesia kaya akan sumber daya alam seperti; pertanian, perkebunan, hasil hutan (kayu, rotan, damar), hasil tambang (minyak, gas, batubara, emas, perak, platina, tembaga, kuningan, crom, aluminium dsb), hasil dari laut (ikan, rumput laut dan sebagainya), perikanan darat dan jasa. Lalu kemana semua kekayaanm ribuan triliun itu kalau bukan raib ditelan yang namanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk mengenal benda abstrak yang namanya KKN kita perlu mendekatinya dan membuat definisi atas tiga kata (KKN) yang menjadi kata kerja dan kata sifat pada seluruh aspek kegiatan rakyat selaku pelaku ekonomi Negara.

Kata korupsi, kolusi, nepotisme berasal dari bahasa asing dibakukan dalam bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka Tahun 1991 bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut :
a. Korupsi, adalah suatu kegiatan untuk menggelapkan (uang Negara dan uang Perusahaan) dan atau mengelapkan potensi pendapatan Negara yang digunakan untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.
b. Kolusi didefinisikan, ialah suatu persekongkolan yang bersifat rahasia atara pejabat Negara, pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan dengan Pimpinan Perusahaan Domestik atau Perusahaan Asing sehingga pejabat Negara/BUMN tersebut mendapat keuntungan untuk memperkaya diri dari kegiatan persekongkolan itu.
c. Nepotisme didefinisikan sebagai kegiatan persekongkolan Pejabat Negara/BUMN dengan keluarganya atau orang kepercayaannya untuk mendapatkan proyek dari Departemen atau BUMN yang dipimpinnya sehingga keluarga (Istri, Putra, Mertua, Saudara sekandung, Paman, Ponakan atau Pembantu) menjadi kaya raya dan Pejabat tersebut akan menjadi kaya raya.

Ketiga kata yang disingkat menjadi KKN pada era reformasi tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 sangat “popular” namanya sehingga dihujat dimana-mana, anak-anak yang baru lepas netek saja kerap meneriakan “basmi KKN” tapi mengenai arti dan definisinya belum tentu dimengerti oleh semua orang dewasa rakyat Indonesia.

Untuk menyatukan pemahaman dengan arah pandang yang sama disini kita coba untuk mendefinisikan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan perilaku operasionalnya :

1. KORUPSI.
Yang dimaksud dengan Korupsi disini adalah penggelapan uang Negra oleh sekelompok orang atau individu untuk memperkaya diri sendiri. Penggelapan uang atau kekayaan Negara dimaksud adalah penggelapan dari sisi pendapatan atau pembelanjaan contohnya, seorang setingkat Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati, Direktur Utama BUMN/ BUMD dapat membelanjakan uang Negara sesuai dengan anggaran yang telah dialokasikan pada kewenangannya misalnya seratus miliar, yang dibelanjakan sebatas lima puluh miliar laporan pertanggung jawaban tetap sebesar seratus miliar, masuk keperbendaharaan kekayaanya lima puluh miliar. Dari sisi pendapatan, misalnya penjualan asset, persewaan tanah, penjualan jasa-jasa, bunga Bank dan securitas sebesar lima triliun, reduksi dan biaya operasional satu triliun maka laba usaha jasa, penjualan asset dan pendapatan lainnya mestinya empat triliun rupiah. Tetapi dilaporkan bahwa pendapatan dari penjualan asset, persewaan tanah/lahan, penjualan jasa, bunga Bank dan securitas empat triliun rupiah, reduksi, biaya usaha, biaya over head dua setengah triliun maka laba bersih sebelum pajak satu setengah triliun, yang dikorup sebesar dua setengah triliun.
Jadi dari kedua contoh sederhana yang dikemukakan diatas Korupsi dilaksanakan dari sisi Pembelanjaan maupun dari Pendapatan Uang Negara.

2. KOLUSI.
Kolusi adalah persekongkolan antara Pejabat Negara dengan Pimpinan Perusahaan Domestik atau Pimpinan Perusahaan Asing untuk menggarap suatu pekerjaan dan atau pengadaan barang sehingga oknum pejabat Negara dan Perusahaan tersebut saling mendapat keuntungan besar. Pejabat Negara dimaksud disini dapat dilaksanakan oleh Meneteri, Dirjen, Gubernur, Bupati, Dirut BUMN dan BUMD.
Contoh sederhana misalnya pembelian unit mesin-mesin untuk pabrik pemintalan benang yang harus diadakan dari luar negeri dengan anggaran sebesar dua ratus juta dolar amerika. Sebelum diadakan transaksi, Pejabat tinggi tersebut setingkat (Menteri, Dirjen, Dirut BUMN) melakukan pertemuan diluar negeri untuk melakukan survey dan nego, setelah disepakati berapa persen rabbat (potongan harga) misalnya sepuluh persen bila dilaksanakan dengan pembelian cash, bila yang dibeli spesifikasi nomor dua dengan bentuk dan fungsi yang sama harganya seratus delapan puluh juta dolar amerika, pembayaran cash, rabbat lima belas persen dari invoice (dua ratus juta dolar amerika) dilaporkan pembelian mesin dengan harga dua ratus juta dolar amerika serikat, rabbat sepuluh persen maka yang dibelanjakan sebesar seratus sembilan puluh juta dolar amerika dengan penghematan sepuluh juta dolar amerika padahal yang dibelanjakan riil sebesar seratus lima puluh juta dolar amerika yang dikantongi empat puluh juta dolar amerika serikat. Contoh lainnya dalam hal membangun jalan raya atau gedung-gedung pemerintah yang mengerjakan kontraktornya itu melulu karena jauh hari sebelum dilaksanakan proyek pembangunan gedung atau jalan raya, pejabat yang berkompoten biasanya diwakili oleh pimpro, melaksanakan pertemuan (arisan) bagi-bagi proyek dan penetapan besar fee (komisi) kepada pejabat penentu setingkat (menteri, dirjen,gubernur, bupati, dirut BUMN/BUM) setelah disepakati maka proses tender formal akan dilaksanakan waktu berikutnya. Pada proses tender atau pelelangan bila kontraktor luar (tidak sindikat) mencoba ikut tender pasti akan kalah jadi buang waktu dan uang. Bila hasil pekerjaan pembangunan gedung terutama interior tidak memenuhi standar (kualifikasi) termasuk jalan raya yang cepat rusak berlubang, menjadi wajar karena ada kegiatan perampokan didalamnya.
Contoh lain, misalnya lahan Kelurahan Koja Utara yang telah dihuni rakyat sejak jaman Hindia Belanda dibebaskan dari hunian rakyat karena akan digunakan untuk pembangunan terminal Petikemas Koja Utara dengan fasilitas pergudangan (CFS) dan lapangan penumpukan/penimbunan (yard) petikemas terbesar di Asia tenggara. Karena alasan pembangunan pelabuhan (Terminal Petikemas), Pemerintah Pusat dan Pemkot Jakarta Utara tahun 1993 memberi ijin kepada PERUM PELABUHAN INDONESIA II (BUMN) untuk melaksanakan pembebasan dan pembangunan terminal dimaksud. Pada proses pengukuran tanah terjadi kongkalikong antara petugas pengujur dengan pemilik/penyewa tanah guna mendapatkan ganti rugi dari pembebasan lahan tersebut, pemilik tanah mendapat penggantian lebih panitia pembebasan juga mendapat bagian atas kelebihan pembayaran pembebasan tanah tersebut. Selanjutnya lahan yang telah bebas itu mestinya segera dibangun lapangan (yard) dan pergudangan (cfs), tapi pada kenyataanya TPK. KOJA dan perkantorannya hanya menggunakan seperlima dari jumlah keseluruhan lahan tersebut, selebihnya menjadi lahan kosong seakan tidak bertuan.
Ketidak perdulian management PELINDO II atas lahan Koja Utara yang dibebaskan dengan pengorbanan setengah triliun rupiah pada waktu itu, dimanfaatkan oleh oknum yang menamakan dirinya Ahli Waris Mbah Priok dengan cara menggarap dan memagar lahan seluas lebih kurang Sembilan Hektar padahal tadinya lahan itu sudah dibebaskan.
Pergantian Kepala Pemerintahan tahun 1998 dari Orde Baru ke Orde Pra Reformasi penyebab keuangan Negara menjadi amburadul alias kosong katanya, tahun 1999 salah satu mesin uang Negara yaitu TPK. Tanjung Priok sebahagian besar kepemilikannya dijual kepada Pihak Asing selama dua puluh tahun dengan komposisi kepemilikan lima puluh satu persen milik asing dan empat puluh sembilan persen milik Negara (PELINDO II) dan nama unit usaha menjadi PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Tahun 2000 sebahagian lahan kosong itu disewakan kepada Pihak Pertamina dan sebahagian lebih kurang tiga koma tujuh Hektar disewakan kepada PT. Graha Segara yang akan digunakan tempat penumpukan/penimbunan Petikemas Pindah Lokasi dari PT. JICT dan TPK. KOJA. Tahun 2001 pertumbuhan ekonomi mulai membaik dengan kisaran mencapai level 6% - 8% pertahun, tetapi lahan Koja Utara tidak dibangun PELINDO II sebagaimana rencana awal sementara lahan diluar pelabuhan seperti PT. AIRIN, PT. Transporindo sebelah Timur PT. Bogasari flour mills Tbk, PT. Berdikari, PT. Ujung, PT. DKB, PT. Tjiptani di Jl. Yos Sudarso mulai dipadati Petikemas Impor Pindah Lokasi Penumpukan.
Tahun 2009 setelah krisis moneter/ekonomi dunia berlalu peri laku pertumbuhan Petikemas Impor/Espor, domestik meningkat ekstrim, (TPS) didalam dan diluar pelabuhan Tanjung Priok penuh, Management Cabang Pelabuhan Tanjung Priok berupaya keras mengambil langkah antisipasi dengan cara meremodeling lahan perkantoran di lini dua Pelabuhan Tanjung Priok menjadi Lapangan Penumpukan Petikemas Domestik (Dalam Negeri). Mestinya kesempatan dan peluang ini digunakan oleh Mangemen PT. PELINDO II untuk melaksanakan investasi membangun Lapangan Penumpukan/Penimbunan Petikemas dan Gudang CFS di Lahan Koja Utara, selain mendapat keuntungan besar dari hasil usaha dapat pula melancarkan distribusi Petikemas kesegala penjuru wilayah DKI dan Jawa Barat.
Peluang, Kesempatan dan Kekuatan Perusahaan tidak digunakan Management PELINDO II untuk meraih sukses yang pantastis, melulu hanya berkaca melihat kelemahan pada didi sendiri sehingga lahan strategis nan elok itu diberikan kepada PT. Aneka Kimia Raya (AKR) untuk penumpukan tanki penampungan Kimia cair yang nilai jualnya tidak seberapa. Sebahagian lagi diberikan untuk perluasan Lapangan Penumpukan Petikemas JICT dan perpanjangan dermaganya mentok ke dermaga TPK. KOJA. Lalu kita bertanya ada apa dibalik semua itu. Apakah motifasi pemberian lahan yang dapat memberikan margin kontribusi triliun rupiah itu bila diusahakan oleh PELINDO II kemudian diberikan kepada pihak lain (AKR, JICT dan Graha Segara). Berapa besar sewa yang didapat oleh PELINDO II apakah sebanding dengan pendapatan bila diusahakan sendiri. Apakah pemberian lahan strategis Koja Utara bermuatan Kolusi berskala besar ?.

3. NEPOTISME
Nepotisme merupakan kegiatan persekongkolan antara Pejabat Negara dengan keluarganya untuk mengerjakan semua kegiatan pekerjaan yang pada Departemen yang dipimpinnya. Pejabat Negara dimaksud disini dimulai dari setingkat Menteri, setingkat Dirjen, Gubernur, Bupati, Dirut BUMN/BUMD. Keluarga Pejabat Negara mulai dari Istri, Anak, Bapak, Mertua, Saudara Sekandung, Saudara Istri, Ponakan dan atau Orang lain yang ditunjuk menjalankan Usaha Keluarga. Pada jaman Orde Baru Pejabat Tinggi Negara mulai dari Presiden sampai Direktur Utama BUMN biasa saja memberikan pekerjaan pemborongan (konstrusi) dan pengadaan barang kepada anak, istri, saudara atau keponakan tanpa merasa risih maka pada pra era reformasi yang namanya KKN sangat dibenci dan dimusuhi rakyat jelata sampai kaum intelektual.
Kini setelah tiga belas tahun era reformasi penyakit tiga hurup (KKN) ini kembali mulai muncul dimana-mana mulai dari pemerintah Propinsi, Kabupaten, Pemerintah Kota dan BUMN/BUMD bahkan sampai pada Lembaga Terhormat.

4. KESIMPULAN
Dari uraian tentang perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang kami kemukakan diatas maka ketiga kutu yang disebutkan diatas dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Bahwa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme bila dibiarkan terus akan menjadi kanker yang menggerogoti kehidupan Negara karena Negara akan terus menerus tergantung pada pinjaman luar negeri sehingga kumulatif hutang tahun ke tahun membengkak seperti balon yang ditiup.
b) Korupsi. Kolusi dan Nepotisme merupakan hama yang sangat mematikan seperti belalang ganas yang melahap daun dan batang tumbuhan, semua sumber daya alam dan jasa-jasa produktif akan habis dilalap KKN tanpa menyisakan sedikitpun pada rakyat.
c) Bila KKN tidak dilawan secara nasional maka tiga puluh tahun kedepan Negara Indonesia akan berubah menjadi padang tandus kering kerontang.
d) Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan kata sifat dan kata kerja yang sejatinya merusak mental dan moral bangsa yang dihinggapi penyakit ganas ini.

5. SARAN

a) Untuk membasmi penyakit ganas ini (KKN) para penegak hukum (KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Para Hakim) harus bertidak cepat dan tegas tanpa pandang bulu sebelum penyakit ini menulari semua rakyat Indonesia.

b) Penyakit KKN ini dapat menulari semua sendi-sendi birokrasi (pemerintah) sampai instansi swasta karena itu kita sebagai rakyat Indonesia tentu tidak lepas tanggung jawab begitu saja dari serangan wabah ganas ini, bila kita ketahui terjadi praktek KKN pada suatu proses pekerjaan, pengadaan barang pemberian fasilitas Negara (disewa pihak swasta atau dibeli) segera kita laporkan kepada pendekar hukum Negara ini.

c) Pejabat tinggi sampai kurir (Gayus) yang melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme seyogyanya diganjar hukuman seberat-beratnya guna menimbulkan efek jera dan keadilan pada masyarakat yang telah dimiskinkan karena perbuatan para koruptor itu. Para koruptor yang melaksanakan Korupsi, Kolusi dan atau Nepotisme sebesar seratus ribu sampai satu juta rupiah diganjar hukuman penjara 2 tahun, korupsi sebesar satu juta seratus ribu rupiah sampai dengan lima puluh juta rupiah diganjar hukuman penjara selama 3 tahun. Korupsi lebih dari lima puluh juta sampai dengan seratus juta rupiah diganjar hukuman penjara selama empat tahun, korupsi lebih dari seratus juta rupiah sampai dengan lima ratus juta rupiah diganjar hukuman penjara lima tahun kurungan, lima ratus juta rupiah lebih sampai dengan satu miliar rupiah diganjar hukuman penjara enam tahun kurungan. Korupsi satu miliar rupiah lebih sampai dengan tiga miliar rupiah diganjar hukuman penjara tujuh tahun kurungan, korupsi tiga miliar rupiah lebih sampai dengan lima miliar rupiah diganjar hukuman penjara selama sepuluh tahun kurungan, korupsi lima miliar rupiah sampai dengan sepuluh miliar rupiah diganjar hukuman penjara selama lima belas tahun penjara, korupsi sepuluh miliar lebih sampai dengan lima puluh miliar rupiah diganjar hukuman penjara seumur hidup kurungan dan korupsi lima puluh miliar rupiah lebih dijatuhi hukuman mati.





ooooooo O ooooooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar