Selasa, 15 Maret 2011

PUNGUTAN LIAR

Pungutan liar popular ditelinga masyarakat Indonesia dimulai sejak pemerintahan Rejim Orde Baru atau lebih kurang setelah tahun 1975. Perubahan prilaku pemegang kekuasaan (birokrasi) ini terjadi karena ulah dari pengusaha tidak jujur untuk mendapatkan proyek (pengadaan barang, pekerjaan konstrusi dan pekerjaan pembangunan jalan raya) dengan segala cara termasuk memberi sejumlah uang kepada pejabat Negara (KKN). Cara pengusah yang tidak terpuji itu, dimanfaatkan oleh pejabat tingkat bawah sampai pelaksana di birokrasi dan BUMN/BUMD untuk mendapatkan tambahan (pungutan liar) uang dari gaji yang diterima relative kecil pada waktu itu. Perilaku menyimpang dari tingkat pejabat menengah bawah sampai pelaksana ini dibiarkan menjalar kemanamana mulai dari kantor camat, kantor lurah, kantor wilayah Dep. Perdagangan, Kantor Dep. Kehakiman, Kantor Dirjen Perla, Kantor Adpel dan Kantor Syahbandar pada waktu itu.
Era reformasi bergulir pemerintah Rejim Orde Baru dilengserkan diganti Pemerintah Reformasi yang di Nakhodai Gusdur, perilaku menyimpang doyan menerima uang suap dan pungutan liar terus menggejala. Untuk menyingkirkan penyakit masyarakat yang sudah mengakar ini, pemerintahan Ibu Megawati Soekarno Putri mencoba menangkalnya dengan membidani lahirnya Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) agar penyakit KKN dan Pungutan Liar dapat dimusnahkan dari Indonesia minimal ruang geraknya dipersempit. Awalnya upaya itu berhasil dan diwaspadai oleh para pengusaha nakal dan pejabat doyan uang itu ditandai dengan banyaknya kasus KKN berakhir di penjara. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono Jilid Satu tahun 2004 sampai tahun 2009 pendekar Penegak Hukum KPK disegani oleh pejabat bersih dan ditakuti oleh para Pejabat Nakal dan pengusaha hitam (istilah Kwiek Khian Ge) pada waktu itu. Departemen Keuangan dibawah kepemimpinan Doktor Sri Mulyani di reformasi, sistim diperbaiki, cara pemberdayaan sumber daya menusia disempurnakan, penegakan hukum dilaksanakan dengan tegas itu ditandai dengan penangkapan beberapa pejabat Bea dan Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok oleh KPK.
Ketika Doktor Sri Mulyani akan membenahi Direktorat Jenderal Pajak yang dipimpinnya, beliau terjebak pada kasus Bank Century yang bergejolak pada waktu itu. Dengan hati yang berat dan tertekan beliau akhirnya mengundurkan diri dari jabatan Menteri Keuangan dan pindah ke amerika serikat memangku jabatan baru.
Dinegara miskin, Negara sedang berkembang maupun pada Negara berkembang pemberntasan KKN dan pungutan liar sangat sulit dilaksanakan karena pada Negara itu sangat sulit mendapatkan pemimpin yang berkarakter takut kepada Tuhan, menjunjung tinggi kebenaran, taat Hukum. Karena masyarakat yang telah lama terjajah berubah menjadi suatu bangsa dan kemudian merdeka menjadi suatu Negara atas perjuangan sendiri atau karena amnesty Internasional akan sulit mengatur (memanag) Negara sendiri karena pengaruh dan tekanan Negara kapitalis yang tetap berkeinginan menguras (membeli) sumber daya Negara baru merdeka itu dengan harga murah.
Ketika elit negara miskin (berkembang, sedang berkembang, miskin) menyerahkan eksplorasi sumber daya alamnya pada para pengusaha asing, elit yang berkuasa di Negara itu tentu mendapat imbalan yang besar dari para pengusaha asing tersebut sehingga penguasa negara-negara sedang berkembang sangat kaya raya. Kekayaan yang didapat dari menjual kekayaan negara tentu diketahui oleh birokrasi tingkat menengah atas sampai bawah, sehingga pejabat birokrasi dari tingkat menengah bawah sampai pelaksana akan berupaya mendapat uang (pungutan liar) dari pelayanan pada rakyat atau masyarakat.

Indonesia yang baru lepas dari cekeraman rejim otoriter Orde Baru tiga belas tahun lalu masih diliputi eporia demokrasi belum dapat berbuat banyak mengelola Negara dan membersihkan pengaruh KKN dan pungutan liar (PUNGLI) yang telah mengakar warisan Orde Baru. Memang ada yang berkomitmen untuk menumpas praktek KKN dan PUNGLI seperti, Preiden Susilo Bambang Yudoyono, Sri Mulyani, Jenderal Polisi Sutanto (purnawirawan), Baharudin Lopa (almarhum), dan beberapa gelintir tokoh masyarakat, tapi jumlahnya relatif kecil bila dibandingkan dengan kelompok yang masa bodo, plinplan dan berjiwa konsumtif (korup).
Dari hasil pengamatan kami secara empiric bahwa korupsi, kolusi, nepotisme dan pungutan liar dapat kita ilustrasikan pada structural keluarga (rumah tangga) pada umumnya di Negara miskin dan sedang berkembang.
1) Korupsi, adalah ayah dari kegiatan mencuri uang Negara.
2) Kolusi, ialah ibu dari kegiatan mencuri uang Negara.
3) Nepotisme, merupakan anak dari kegiatan merugikan Negara.
4) PUNGLI, merupan cucu dari urutan keluarga yang merugikan rakyat atau masyarakat.

Bila diperhatikan secara saksama kegiatan PUNGLI tidak langsung merugikan keuangan Negara, tapi bila dicermat pelaku pelaksana pungli ini jumlahnya sangat besar, mulai dari pejabat menengah sampai pegawai pelaksana di kantor Dirjen, kantor Gubernur, kantor walikota, kantor bupati, kantor kecamatan, kantor kelurahan, kantor administrator pelabuhan, kantor kesyahbandaran, kantor pusat BUMN/BUMD kantor cabang sampai pelaksana. PUNGLI ini menjadi beban biaya tambahan yang dipikul masyarakat pengusaha dan rakyat yang pada gilirannya akan dibebankan pada produk yang akan dikonsumsi oleh negara dan rakyat. Produk out put pabrikasi atau finishing yang akan di eksport atau akan dikonsumsi dalam negeri pasti kalah bersaing harga (price) dengan produk sejenis yang diprodusir Negara lain misalnya Thailand, Malaysia dan Vetnam. Itulah sebabnya pabrik perakitan elektronik seperti Sony, Toshiba, Aiwa, pindah ke Malaysia dan perakitan mobil pindah ke Muangthai dan Veetnam. Kelihatannya PUNGLI tidak mempengaruhi kegiatan ekonomi tapi sesungguhnya PUNGLI masuk pada biaya produksi/distribusi yang berujung pada kegiatan “ekonomi biaya tinggi”.
Sepuluh tahun terakhir ini kegitan PUNGLI kurang diperhatikan oleh para peneliti independen di Indonesia, para peneliti lebih tertarik pada trend popularitas pemimpin padahal PUNGLI adalah penyakit (virus) yang sudah lama menulari pelaksana birokrasi. Bila virus ini tidak segera diberantas maka penyakit ini akan menggerogoti system, ahlak, moral para pegawai pelaksana sampai setingkat manager di lembaga pemerintahan. Sebagai contoh, kita dapat mengarahkan pandangan pada Pelabuhan Tanjung Priok, disana ada lembaga pemerintah setingkat kantor Administrator, Kantor Karantina, Kantor Bea & Cukai dan Kantor Cabang Pelabuhan Tanjung Priok. Di kantor ADPEL khususnya pada bidang kesyahbandaran dan bidang lalu lintas angkutan laut, PUNGLI merajalela, mulai dari kepala-kepala bidang sampai ke pegawai pelaksana. Untuk mengurus clearance satu unit kapal sampai dengan mendapat Surat Ijin Berlayar (SIB) keagena atau ship owner dimintai uang ratusan bahkan mencapai jutaan rupiah, di bidang lalu lintas angkutan laut untuk medapatkan selembar surat pemberitahuan berusaha (angkutan trailer, ekspedisi muatan laut, kegiatan pengiriman barang dan sebagainya), pengusaha mesti merogoh saku sebesar tiga sampai empat juta rupiah. Dikantor karantina pelabuhan, importir yang memasok barang seperti beras, jagung, kedelai, terigu, bawang Bombay mesti mengeluarkan uang PUNGLI agar proses pengeluaran barang menjadi lancar. Pada Kantor Bea & Cukai setelah dilakukan reformasi, amplop (uang) yang biasanya beredar mulai dari petugas penerimaan dokumen, pembukuan document, tukang stempel, ajudan sampai Kepala Seksi (kasi) tidak terlihat lagi, akibatnya proses pengurusan dokumen lambat, dokumen ditumpuk sampai menggunung, setelah para pelaksana ekspedisi/importir antri layaknya pengantri sembako dukomen dikerjakan dengan ogah-ogahan. Ketika proses telah selesai dilaksanakan (mulai dari pemeriksaan dokumen, bahandle sampai dikeluarkannya nota) Importir/EMKL harus bersiap menyediakan dana siluman (PUNGLI), bila Importir/EMKL ngotot mempertahankan argumennya maka siap dikenai NOTUL. Untuk menghindari demit yang namanya “Notul” ini, importir bersedia merogoh kocek sampai jutaan rupiah. Di kantor Cabang Pelabuhan Tanjung Priok, yang namanya uang siluman (PUNGLI) kelihatannya tidak ada, tapi sesungguhnya ada. Untuk membuktiknnya kita harus menelusuri jalan berliku pada pada tiap Divisi cabang Pelabuhan Tanjung Priok dengan tekun.
Penulis akan memulai penelusuran dan penelitiannya pada divisi perencanaan dan pengendalian operasi/PPSA yang bekompoten mengarahkan penambatan kapal didermaga. Kontak personal antara staf keagenan perusahaan pelayaran dengan staf PPSA berujung pengeluaran uang siluman (Pungli), perubahan status kapal yang tadinya melaksanakan pelayaran luar negeri menjadi pelayaran dalam negeri diakhiri dengan pengeluaran uang siluman (Kolusi) yang jumlahnya jutaan rupiah.
Divisi Teknik, divisi ini berkompoten merancang proyek, memelihara, memperbaiki, semua asset yang bergerak atau tidak bergerak dipelabuhan mulai dari gedung-gedung, jalan raya, dermaga, gudang, alat berat, lapangan penumpukan/penimbunan barang, sampai pembatas (pagar) areal pelabuhan dengan jalan umum diluar pelabuhan. Untuk mengerjakan pengadaan gedung, lapangan penimbunan barang, perbaikan jalan raya semua dirancang pada divisi teknik dimulai dari penetapan pemenang lelang sampai pada menetapkan anggaran biaya dan besaran fee (kolusi) yang ditetapkan menjadi beban para kontraktor. Selanjutnya untuk pekerjaan yang tidak melalui tender (pekerjaan yang dipecah) bernilai lima ratus juta rupiah kebawah, divisi teknik dan divisi logistic dan pengadaan bekerja sama guna mengadakan lelang terbatas dengan mengikut sertakan 3 sampai 5 perusahaan yang memiliki Surat Keterangan Rekanan Terseleksi (SKRT) yang dikeluarkan oleh divisi pengadaan dan logistic. Proses lelang (tender terbatas) yang dilaksanakan di divisi logistic dan pengadaan hanya akal-akalan Cabang Pelabuhan Tanjung Priok guna mengelabui masyarakat dan penegak hukum (KPK) dari praktek kolusi ini. Padahal pemenang pekerjaan itu telah ditetapkan misalnya perusahaan X dengan kewajiban membayar fee puluhan juta rupiah kepada manager teknik dan manager pengadaan dan logistic. Selain para manager disebutkan diatas, para staf dan pelaksana mendapat bagian uang siluman secara proporsional. Untuk pekerjaan KHS (sepuluh juta rupiah kebawah), biasanya para kontraktor cilik (UKM) cukup berurusan dengan para staf dan pelaksana divisi teknik karena uang pelicin (Pungli) yang dikeluarkan kontraktor juga relative kecil yaitu mulai dari lima ratus ribu sampai satu juta rupiah tapi karena jumlah pekerjaannya banyak maka kmulatif uang siluman (Pungli) cukup besar per tahun.
Ketika penulis selesai menelusuri perilaku, karakter dan kegiatan operasional ketiga divisi Cabang Tanjung Priok diatas, kini penulis mencoba penelusuran peran, karakter, perilaku dan sepak terjang divisi property yang mengawasi dan membawahi asset tidak bergerak Cabang Pelabuhan Tanjung Priok seperti gedung-gedung dan Tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pelindo II Cabang Tanjung Priok terdiri dari tanah dalam dan tanah luar.
Divisi ini di pimpin oleh seorang manager (Abuzai) yang secara hirarkis tunduk atau bertanggung jawab kepada general manager. Peran dan pengaruh Abuzai manager property dalam memberi masukan kepada general manager, direktur usaha sampai direktur utama sangat dominan. Abuzai dapat menentukan perusahaan mana yang dijadikan mitra penyewa tanah dalam atau tanah luar untuk dijadikan kepentingan mendukung kegiatan pelabuhan atau untuk kegiatan industri. Beliau yang menetapkan besaran sewa tanah per meter (tanah dalam dan tanahluar) di pelabuhan tanjung priok tanpa menghiraukan pasar yang berlaku di Malaysia dan Singapura. Di Singapura tanah dalam dihargai empat dolar amerika serikat per meter persegi per bulan, tanah luar dihargai tiga dolar amerika serikat per meter persegi per bulan. Di pelabuhan Tanjung Priok sebaliknya tanah dalam lebih murah dari tanah luar, atau harga per meter terserah dari kegiatan nego yang dituangkan dalam kesepakatan. Emangnya tanah pelabuhan milik pribadi, dapat seenaknya diberikan kepada siapa yang memberi imbalan besar (Kolusi) sampai ratusan bahkan mungkin mencapai miliaran rupiah. Guna menghindari praktek Kolusi yang berkepanjangan dan merugikan Negara, pemerintah pusat harus segera membuat standar harga atau melakukan tender (pelelangan) atas persewaan tanah untuk mendapatkan harga per meter persegi per bulan yang patut. Dari hasil penelusuran dan penelitian yang dilaksanakan penulis pada divisi property, maka disimpulkan bahwa pada divisi ini terjadi pungutan liar (Kolusi) berskala besar dan terorganisir. Selanjutnya pada divisi kepanduan pungutan liar kepada agen/owner perusahaan pelayaran dilaksanakan oleh pandu Bandar dengan jumlah terbatas dua ratus sampai tiga ratus ribu rupiah per pelayanan.
Yang terakhir adalah Divisi Usaha Terminal (Uster). Pada divisi ini peluang Kolusi dan pungutan liar sangat memungkinkan karena para pelaksana, supervisor, manager dan deputy general manager operasi dapat berhubungan langsung dengan pemakai jasa pelabuhan (EMKL/Shipper, Owner/agen pelayaran). Menurut pemakai jasa pelabuhan, metodelogi/teknik yang digunakan divisi uster dalam melaksanakan pungutan liar (Pungli) dan Kolusi kepada pemakai jasa pelabuhan sebagai berikut.
1) Pelaksana lapangan/gudang, supervisor sampai manager dapat melakukan kesepakatan (Kolusi) dengan pemakai jasa tentang jumlah muatan (barang) yang akan dimuat atau dibongkar dari kapal ke dermaga selanjutnya ditimbun di lapangan atau gudang. Muatan yang mestinya 3.000 ton dilaporkan 2.000 ton, penumpukan yang mestinya lima hari dilaporkan dua hari alasannya sebahagian besar dilaksanakan dengan truck loading. Dari selisih jumlah tonase ini didapat selisih uang (muat dan penumpukan) yang cukup besar.
2) Ketika pemilik muatan/bongkaran kesulitan mendapatkan tempat penumpukan barang di gudang atau lapangan, untuk mendapatkan fasilitas ini pemilik barang harus merogoh koceknya lebih dahulu (Pungli).
3) Ketika perusahaan pelayaran kebingungan mencari kade tempat penyandaran kapalnya sementara dermaga dinyatakan penuh, keagenan didesak dan diancam pemilik barang, maka keagenan minta tolong kepada manager uster dan manager PPSA agar kapalnya dapat disandarkan bagaimanapun caranya. Atas upaya dan inisiatif para pelaksana, supervisor sampai manager dilapangan, keagenan pelayaran suka atau tidak suka harus mengeluarkan uang pelican (Pungli) kepada kordinator lapangan.
4) PBM yang dapat order bekerja didermaga dimintai sejumlah uang sebelum melaksanakan kegiatan bongkar atau muat barang di kade.
5) EMKL atau pemilik barang yang akan mengurus pengeluaran barangnya akan dimintai sejumlah uang oleh pelaksana di lapangan.
6) Tiap truck yang memuat barang bongkaran atau muatan dimintai uang oleh petugas di pintu (gate).

Dari hasil penelusuran dan penelitian yang dilakukan penulis pada beberapa kantor intansi pemerintah di Jakarta sampai pelabuhan Tanjung Priok maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan ber Pungli ria merupakan padanan dari kegiatan pelayanan pada masyarat dan rakyat. Kegiatan pungli dalam prakteknya lebih dekat (familier) kepada Kolusi, kedua kegiatan ini saling bahu membahu dalam pencapaian sukses menghasilkan uang siluman, entah itu dikeruk dari masyarakat atau uang Negara.
Sampai hari ini belum ada penelitian yang menyatakan bahwa Pungutan Liar (Pungli) dapat membangkrutkan sebuah Negara, tapi karena pungli sangat familier dengan Kolusi maka Pungli harus diberantas dari bumi Indonesia mulai hari sampai masa yang akan datang.
Untuk generasi muda penerus bangsa yang memilih karir pada bidang profesional, birokrasi dan wiraswasta mulai hari ini tanamkan dalam hati sanubari dan jiwa saudara-saudari, bahwa KKN dan Pungli adalah musuh Negara yang memiskinkan rakyat.




Bhorthe Urdu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar