Kamis, 06 Desember 2012

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR; P.26/BC/2007 TANGGAL 30 AGUSTUS BAGAI PISAU BERMATA DUA Sambungan, ... Era Tahun 1970-an, Sepertinya kongesti sudah menyatu dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Pada awal tahun 70-an kongesti kembali melanda pelabuhan Tanjuk Priok. Pertanyaan mendasar yang menggelayut pikiran kita " kenapa pelabuhan Tanjung Priok, begitu rentan terhadap kongesti ". Jawabnya karena keterbatasan fasilitas di pelabuhan dan terpusatnya arus barang impor ke Jakarta dan seputarnya. Pada sisi lain muatan masuk via Pelabuhan Tanjung Priok terus mengalir, sehingga kian meningkatnya barang tidak bertuan di Pelabuhan Tanjung Priok. Barang-barang tak bertuan ini menumpuk sejak lima (5) sampai tujuh (7) tahun yang silam. Akar permasalahannya, karena prosedur dokument sangat berbelit-belit. Akibatnya pemilik barang enggan mengambil barang miliknya. Hal ini disebabkan kian maraknya praktek pungutan liar (pungli) di Pelabuhan Tanjung Priok. Mulai dari pengurusan dokument sampai bongkar muat maupun angkutan ke luar areal pelabuhan. Ternyata semua instansi pemerintah terlibat praktek pungli di Pelabuhan Tanjung Priok. Untuk memberantas pungli, pada tahun 1971 Pemerintah membentuk tim penertiban pelabuhan yang dikenal dengan nama "Team Walisongo". Anggota Team terdiri dari Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perdagangan, seorang Perwira Tinggi dari Departemen Pertahanan, seorang Pejabat Teras dari Bapenas, Ketua Team Walisongo Samet Danudirdjo, yang ketika itu menjabat Deputy Ketua Bapenas. Ketika itu J.E. Habibie menjabat sebagai Sekretaris Pelabuhan. Ketua Team Walisongo Slamet Danudirdjo melihat J.E. Habibie yang lincah dan mudah bergaul, berpotenti mengatasi kemelut yang dihadapi Pelabuhan Tanjung Priok saat itu. Sang Jendral bintang dua itu mengusulkan agar J.E. Habibie diangkat menjadi Administrator (Adpel) Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Tanjung Priok adalah pintu gerbang perdagangan/perniagaan Indonesia. Sebab itu, JE. Habibiae yang akrab disafa Fanny, harus mampu menyembuhkan penyakit "kengesti" yang melekat pada pelabuhan Tanjung Priok, tugas pokok Adpel adalah melakukan penertiban di bawah pengawasan Team Walisongo. Disamping itu, Adpel harus menyusun rencana pengembangan pelabuhan Tanjung Priok yang diharapkan akan dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Fanny mulai menyusun rencana penertiban pelabuhan yang disebut "Operasi Bersih" dan "Operasi Lancar". Sebelum melaksanakan penertiban, JE. Habibie mengamati permasalahan yang dihadapi pelabuhan Tanjung Priok. Ternyata banyak masalah yang dihadapi Pelabuhan Tanjung Priok. Disamping keterbatasan fasilitas pelabuhan, pencurian semakin marak, dan kian menumpuknya barang-barang tidak bertuan. Akibatnya, terjadi keterlambatan bongkar muat di pelabuhan. Kapal terpaksa harus lama berlabuh di luar kolam pelabuhan menunggu giliran untuk sandar di kade. Waiting Time kapal sangat tinggi, sehingga mempengaruhi Turn Round Time (TRT) kapal. Permasalahan pokok adalah keterbatasan fasilitas pelabuhan, seperti alat bongkar muat, gudang dan lapangan penumpukan barang (cargo). Pada tahun 1972, Presiden Soeharto meninjau langsung kondisi Pelabuhan Tanjung Priok yang sedang di landa kongesti. Fanny Habibie mulai melakukan penertiban. Langkah awal adalah mengadakan pendekatan para buruh di pelabuhan. Fanny Habibie mendorong para buruh pelabuhan agar bekerja lebih efektif dan efisien, dan mempercepat kegiatan bongkar muat. Lewat "Operasi Bersih" dan "Operasi Lancar", diharapkan dapat memperlancar dan mempercepat keluarnya bahan pokok seperti; beras, gula dan pupuk dari pelabuhan. Karena beras dan gula sangat dibutuhkan masyarakat, sementara pupuk sangat dibutuhkan para petani. Maksud "Operasi Bersih" adalah agar pengeluaran barang dari pelabuhan sesuai prosedur yang berlaku. Barang-barang yang tidak bertuan, di lelang atau dimusnahkan sehingga upaya pembenahan di pelabuhan dapat dilaksanakan. Pada sisi lain, pihak pelabuhan mulai menyusun perencanaan rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan. Untuk mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok dibutuhkan dana. Melalui pintu pendekatan yang dilakukan, akhirnya Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) Tanjung Priok memperoleh dana dari Bank Pembangunan Asia (ABD) sebesar US $. 5,000,000. yang digunakan untuk proyek rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan. Langkah ini bukan sekedar merupakan awal pembangunan di pelabuhan Tanjung Priok, tetapi mengubah konstelasi warna Pelabuhan Tanjung Priok yang selama suram menjadi terang benderang. Pelaku bisnis di Pelabuhan Tanjung Priok seakan tergelitik dan terangsang untuk ikut membangun pelabuhan Tanjung Priok. Fanny Habibie menyadari, bahwa ia perlu mencetak tenaga-tenaga akhli kepelabuhanan yang handal dan profesional. Kebetulan telah terjalin kerjasama antara pelabuhan Amsterdam Belanda dengan Pelabuhan Tanjung Priok, setelah ditandatanganinya "Priok-Amesterdam-Sistership". Beberapa kali tenaga ahli kepelabuhanan Amsterdam datang ke Pelabuhan Tanjung Priok, memberi masukan dan saran tentang cara mengatasi permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok pada saat itu. Salah seorang pejabat Pelabuhan Amsterdam Drs. Hans de Roo. Ia lahir di Indonesia dan lama tinggal di Ygyakarta. Ia merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Hans do Roo mengundang tenaga muda BPP tanjung Priok untuk menimba ilmu pengetahuan kepelabuhanan di Blanda, yaitu dengan mengikuti pembelajaran Port Management Course di Delft yang biasa disebut sebagai embrio lahirnya tenaga-tenaga kepelabuhanan yang profesional di kemudian hari. Diantara para pemuda itu Drs. Sabirin Saiman, ia kemudian dipercayakan menjadi Derektur Utama Perum Pelabuhan II Jakarta, Ir. Sumardi mantan Dirut Pelindo IV dan Pelindo III, Ir. Sadhu Sasmitha mantan Direktur Taknik Perumpel II, Drs. Prayitno mantan Direktur Utama Pelindo II, Drs. Herman Prayitno mantan Direktur Utama Pelindo III dan Dirut Pelindo II, Robert Sianipar mantan Dirut PT. Multi Terminal Indonesia (MTI) dan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha Pelindo III dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan pada tulisan ini. Era Containerisasi .....................

Sambungan, ... Era Tahun 1970-an, Sepertinya kongesti sudah menyatu dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Pada awal tahun 70-an kongesti kembali melanda pelabuhan Tanjuk Priok. Pertanyaan mendasar yang menggelayut pikiran kita " kenapa pelabuhan Tanjung Priok, begitu rentan terhadap kongesti ". Jawabnya karena keterbatasan fasilitas di pelabuhan dan terpusatnya arus barang impor ke Jakarta dan seputarnya. Pada sisi lain muatan masuk via Pelabuhan Tanjung Priok terus mengalir, sehingga kian meningkatnya barang tidak bertuan di Pelabuhan Tanjung Priok. Barang-barang tak bertuan ini menumpuk sejak lima (5) sampai tujuh (7) tahun yang silam. Akar permasalahannya, karena prosedur dokument sangat berbelit-belit. Akibatnya pemilik barang enggan mengambil barang miliknya. Hal ini disebabkan kian maraknya praktek pungutan liar (pungli) di Pelabuhan Tanjung Priok. Mulai dari pengurusan dokument sampai bongkar muat maupun angkutan ke luar areal pelabuhan. Ternyata semua instansi pemerintah terlibat praktek pungli di Pelabuhan Tanjung Priok. Untuk memberantas pungli, pada tahun 1971 Pemerintah membentuk tim penertiban pelabuhan yang dikenal dengan nama "Team Walisongo". Anggota Team terdiri dari Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perdagangan, seorang Perwira Tinggi dari Departemen Pertahanan, seorang Pejabat Teras dari Bapenas, Ketua Team Walisongo Samet Danudirdjo, yang ketika itu menjabat Deputy Ketua Bapenas. Ketika itu J.E. Habibie menjabat sebagai Sekretaris Pelabuhan. Ketua Team Walisongo Slamet Danudirdjo melihat J.E. Habibie yang lincah dan mudah bergaul, berpotenti mengatasi kemelut yang dihadapi Pelabuhan Tanjung Priok saat itu. Sang Jendral bintang dua itu mengusulkan agar J.E. Habibie diangkat menjadi Administrator (Adpel) Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Tanjung Priok adalah pintu gerbang perdagangan/perniagaan Indonesia. Sebab itu, JE. Habibiae yang akrab disafa Fanny, harus mampu menyembuhkan penyakit "kengesti" yang melekat pada pelabuhan Tanjung Priok, tugas pokok Adpel adalah melakukan penertiban di bawah pengawasan Team Walisongo. Disamping itu, Adpel harus menyusun rencana pengembangan pelabuhan Tanjung Priok yang diharapkan akan dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Fanny mulai menyusun rencana penertiban pelabuhan yang disebut "Operasi Bersih" dan "Operasi Lancar". Sebelum melaksanakan penertiban, JE. Habibie mengamati permasalahan yang dihadapi pelabuhan Tanjung Priok. Ternyata banyak masalah yang dihadapi Pelabuhan Tanjung Priok. Disamping keterbatasan fasilitas pelabuhan, pencurian semakin marak, dan kian menumpuknya barang-barang tidak bertuan. Akibatnya, terjadi keterlambatan bongkar muat di pelabuhan. Kapal terpaksa harus lama berlabuh di luar kolam pelabuhan menunggu giliran untuk sandar di kade. Waiting Time kapal sangat tinggi, sehingga mempengaruhi Turn Round Time (TRT) kapal. Permasalahan pokok adalah keterbatasan fasilitas pelabuhan, seperti alat bongkar muat, gudang dan lapangan penumpukan barang (cargo). Pada tahun 1972, Presiden Soeharto meninjau langsung kondisi Pelabuhan Tanjung Priok yang sedang di landa kongesti. Fanny Habibie mulai melakukan penertiban. Langkah awal adalah mengadakan pendekatan para buruh di pelabuhan. Fanny Habibie mendorong para buruh pelabuhan agar bekerja lebih efektif dan efisien, dan mempercepat kegiatan bongkar muat. Lewat "Operasi Bersih" dan "Operasi Lancar", diharapkan dapat memperlancar dan mempercepat keluarnya bahan pokok seperti; beras, gula dan pupuk dari pelabuhan. Karena beras dan gula sangat dibutuhkan masyarakat, sementara pupuk sangat dibutuhkan para petani. Maksud "Operasi Bersih" adalah agar pengeluaran barang dari pelabuhan sesuai prosedur yang berlaku. Barang-barang yang tidak bertuan, di lelang atau dimusnahkan sehingga upaya pembenahan di pelabuhan dapat dilaksanakan. Pada sisi lain, pihak pelabuhan mulai menyusun perencanaan rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan. Untuk mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok dibutuhkan dana. Melalui pintu pendekatan yang dilakukan, akhirnya Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) Tanjung Priok memperoleh dana dari Bank Pembangunan Asia (ABD) sebesar US $. 5,000,000. yang digunakan untuk proyek rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan. Langkah ini bukan sekedar merupakan awal pembangunan di pelabuhan Tanjung Priok, tetapi mengubah konstelasi warna Pelabuhan Tanjung Priok yang selama suram menjadi terang benderang. Pelaku bisnis di Pelabuhan Tanjung Priok seakan tergelitik dan terangsang untuk ikut membangun pelabuhan Tanjung Priok. Fanny Habibie menyadari, bahwa ia perlu mencetak tenaga-tenaga akhli kepelabuhanan yang handal dan profesional. Kebetulan telah terjalin kerjasama antara pelabuhan Amsterdam Belanda dengan Pelabuhan Tanjung Priok, setelah ditandatanganinya "Priok-Amesterdam-Sistership". Beberapa kali tenaga ahli kepelabuhanan Amsterdam datang ke Pelabuhan Tanjung Priok, memberi masukan dan saran tentang cara mengatasi permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok pada saat itu. Salah seorang pejabat Pelabuhan Amsterdam Drs. Hans de Roo. Ia lahir di Indonesia dan lama tinggal di Ygyakarta. Ia merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Hans do Roo mengundang tenaga muda BPP tanjung Priok untuk menimba ilmu pengetahuan kepelabuhanan di Blanda, yaitu dengan mengikuti pembelajaran Port Management Course di Delft yang biasa disebut sebagai embrio lahirnya tenaga-tenaga kepelabuhanan yang profesional di kemudian hari. Diantara para pemuda itu Drs. Sabirin Saiman, ia kemudian dipercayakan menjadi Derektur Utama Perum Pelabuhan II Jakarta, Ir. Sumardi mantan Dirut Pelindo IV dan Pelindo III, Ir. Sadhu Sasmitha mantan Direktur Taknik Perumpel II, Drs. Prayitno mantan Direktur Utama Pelindo II, Drs. Herman Prayitno mantan Direktur Utama Pelindo III dan Dirut Pelindo II, Robert Sianipar mantan Dirut PT. Multi Terminal Indonesia (MTI) dan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha Pelindo III dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan pada tulisan ini. Era Containerisasi ..................... Sambungan, ... Era Tahun 1970-an, Sepertinya kongesti sudah menyatu dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Pada awal tahun 70-an kongesti kembali melanda pelabuhan Tanjuk Priok. Pertanyaan mendasar yang menggelayut pikiran kita " kenapa pelabuhan Tanjung Priok, begitu rentan terhadap kongesti ". Jawabnya karena keterbatasan fasilitas di pelabuhan dan terpusatnya arus barang impor ke Jakarta dan seputarnya. Pada sisi lain muatan masuk via Pelabuhan Tanjung Priok terus mengalir, sehingga kian meningkatnya barang tidak bertuan di Pelabuhan Tanjung Priok. Barang-barang tak bertuan ini menumpuk sejak lima (5) sampai tujuh (7) tahun yang silam. Akar permasalahannya, karena prosedur dokument sangat berbelit-belit. Akibatnya pemilik barang enggan mengambil barang miliknya. Hal ini disebabkan kian maraknya praktek pungutan liar (pungli) di Pelabuhan Tanjung Priok. Mulai dari pengurusan dokument sampai bongkar muat maupun angkutan ke luar areal pelabuhan. Ternyata semua instansi pemerintah terlibat praktek pungli di Pelabuhan Tanjung Priok. Untuk memberantas pungli, pada tahun 1971 Pemerintah membentuk tim penertiban pelabuhan yang dikenal dengan nama "Team Walisongo". Anggota Team terdiri dari Dirjen Perhubungan Laut, Dirjen Bea dan Cukai, Dirjen Perdagangan, seorang Perwira Tinggi dari Departemen Pertahanan, seorang Pejabat Teras dari Bapenas, Ketua Team Walisongo Samet Danudirdjo, yang ketika itu menjabat Deputy Ketua Bapenas. Ketika itu J.E. Habibie menjabat sebagai Sekretaris Pelabuhan. Ketua Team Walisongo Slamet Danudirdjo melihat J.E. Habibie yang lincah dan mudah bergaul, berpotenti mengatasi kemelut yang dihadapi Pelabuhan Tanjung Priok saat itu. Sang Jendral bintang dua itu mengusulkan agar J.E. Habibie diangkat menjadi Administrator (Adpel) Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Tanjung Priok adalah pintu gerbang perdagangan/perniagaan Indonesia. Sebab itu, JE. Habibiae yang akrab disafa Fanny, harus mampu menyembuhkan penyakit "kengesti" yang melekat pada pelabuhan Tanjung Priok, tugas pokok Adpel adalah melakukan penertiban di bawah pengawasan Team Walisongo. Disamping itu, Adpel harus menyusun rencana pengembangan pelabuhan Tanjung Priok yang diharapkan akan dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Fanny mulai menyusun rencana penertiban pelabuhan yang disebut "Operasi Bersih" dan "Operasi Lancar". Sebelum melaksanakan penertiban, JE. Habibie mengamati permasalahan yang dihadapi pelabuhan Tanjung Priok. Ternyata banyak masalah yang dihadapi Pelabuhan Tanjung Priok. Disamping keterbatasan fasilitas pelabuhan, pencurian semakin marak, dan kian menumpuknya barang-barang tidak bertuan. Akibatnya, terjadi keterlambatan bongkar muat di pelabuhan. Kapal terpaksa harus lama berlabuh di luar kolam pelabuhan menunggu giliran untuk sandar di kade. Waiting Time kapal sangat tinggi, sehingga mempengaruhi Turn Round Time (TRT) kapal. Permasalahan pokok adalah keterbatasan fasilitas pelabuhan, seperti alat bongkar muat, gudang dan lapangan penumpukan barang (cargo). Pada tahun 1972, Presiden Soeharto meninjau langsung kondisi Pelabuhan Tanjung Priok yang sedang di landa kongesti. Fanny Habibie mulai melakukan penertiban. Langkah awal adalah mengadakan pendekatan para buruh di pelabuhan. Fanny Habibie mendorong para buruh pelabuhan agar bekerja lebih efektif dan efisien, dan mempercepat kegiatan bongkar muat. Lewat "Operasi Bersih" dan "Operasi Lancar", diharapkan dapat memperlancar dan mempercepat keluarnya bahan pokok seperti; beras, gula dan pupuk dari pelabuhan. Karena beras dan gula sangat dibutuhkan masyarakat, sementara pupuk sangat dibutuhkan para petani. Maksud "Operasi Bersih" adalah agar pengeluaran barang dari pelabuhan sesuai prosedur yang berlaku. Barang-barang yang tidak bertuan, di lelang atau dimusnahkan sehingga upaya pembenahan di pelabuhan dapat dilaksanakan. Pada sisi lain, pihak pelabuhan mulai menyusun perencanaan rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan. Untuk mengembangkan pelabuhan Tanjung Priok dibutuhkan dana. Melalui pintu pendekatan yang dilakukan, akhirnya Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) Tanjung Priok memperoleh dana dari Bank Pembangunan Asia (ABD) sebesar US $. 5,000,000. yang digunakan untuk proyek rehabilitasi dan pengembangan pelabuhan. Langkah ini bukan sekedar merupakan awal pembangunan di pelabuhan Tanjung Priok, tetapi mengubah konstelasi warna Pelabuhan Tanjung Priok yang selama suram menjadi terang benderang. Pelaku bisnis di Pelabuhan Tanjung Priok seakan tergelitik dan terangsang untuk ikut membangun pelabuhan Tanjung Priok. Fanny Habibie menyadari, bahwa ia perlu mencetak tenaga-tenaga akhli kepelabuhanan yang handal dan profesional. Kebetulan telah terjalin kerjasama antara pelabuhan Amsterdam Belanda dengan Pelabuhan Tanjung Priok, setelah ditandatanganinya "Priok-Amesterdam-Sistership". Beberapa kali tenaga ahli kepelabuhanan Amsterdam datang ke Pelabuhan Tanjung Priok, memberi masukan dan saran tentang cara mengatasi permasalahan di Pelabuhan Tanjung Priok pada saat itu. Salah seorang pejabat Pelabuhan Amsterdam Drs. Hans de Roo. Ia lahir di Indonesia dan lama tinggal di Ygyakarta. Ia merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Hans do Roo mengundang tenaga muda BPP tanjung Priok untuk menimba ilmu pengetahuan kepelabuhanan di Blanda, yaitu dengan mengikuti pembelajaran Port Management Course di Delft yang biasa disebut sebagai embrio lahirnya tenaga-tenaga kepelabuhanan yang profesional di kemudian hari. Diantara para pemuda itu Drs. Sabirin Saiman, ia kemudian dipercayakan menjadi Derektur Utama Perum Pelabuhan II Jakarta, Ir. Sumardi mantan Dirut Pelindo IV dan Pelindo III, Ir. Sadhu Sasmitha mantan Direktur Taknik Perumpel II, Drs. Prayitno mantan Direktur Utama Pelindo II, Drs. Herman Prayitno mantan Direktur Utama Pelindo III dan Dirut Pelindo II, Robert Sianipar mantan Dirut PT. Multi Terminal Indonesia (MTI) dan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha Pelindo III dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan pada tulisan ini. Era Containerisasi .....................

1 komentar:

  1. saya ingin bertanya, untuk tulisan ini sumber-sumbernya bisa didapatkan dimana yah ?

    BalasHapus