Selasa, 15 Februari 2011

PENYALAH GUNAAN LAHAN KOJA UTARA
OLEH DIREKTUR UTAMA PT. PELINDO II



Pada tahun 1993 akhir lahan Kelurahan Koja Utara dibebaskan oleh PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II bekerja sama dengan PT. Humpuss Terminal dan Pemkot Jakarta Utara. Pembebasan Lahan yang dihuni oleh 5500 kepala keluarga penduduk Koja Utara menelan biaya hampir setengah triliun rupiah, kemudian membebaskan lahan ratusan hektar di Bojonogora (Banten) yang kini terbengkalai dan sebagian lahannya telah kembali dihuni oleh masyarakat. Rencana pembangunan Terminal Khusus Penumpang dan pangkalan Marina bekerja sama dengan PT. Pembangunan Jaya pengelola Taman Impian Jaya Ancol berlokasi di sebelah Barat Kantor PT. Pengerukan di petakan pada jaman Orde Baru.

Pembangunan Pelabuhan Bojonegoro dan Terminal Khusus Penumpang dan Marina tinggal menjadi impian walau peletakan batu Pertama pembangunan Bojonegoro telah dilaksanakan oeh Ibu Megawati selaku Presiden ke lima pada waktu itu. Lalu pembangunan TPK. Koja Utara dilaksanakan oleh PT. Pelindo II patungan dengan PT. Humpuss Terminal dan selasai sebelum era reformasi.
Pembangunan TPK. Koja seluas 21,80 Hektar pada lahan bekas Kelurahan Koja Utara menurut kami tidak optimal, karena lahan yang luasnya kurang dari 150 Hektar itu lebih besar yang dianggurkan dan diterlantarkan sehingga menjadi belantara dan tempat tempat pemancingan. Padahal pembebasan tanah yang telah dihuni penduduk Koja Utara sejak jaman Hindia Belanda itu direncanakan untuk membangun Terminal Petikemas Koja Utara dan Lapangan penyanggah Terbesar di Asia Tenggara. Kami memperkirakan bahwa pada Lapangan itu tentu akan dibangun beberapa Unit Gudang CFS karena tiga Unit Gudang CFS yang tadinya ada didermaga TPK. Tanjung Priok (JICT) dibongkar karena tidak sesuai dengan tata ruang dan tata letak.

Kemudian pada era Reformasi tahun 1997, pemerintahan pusat yang dipimpin Presiden J.B. Habibie, kekurangan uang chas, guna kebutuhan uang belanja Negara yang katanya pada waktu itu nihil menurut Menteri BUMN yang saat itu dijabat T. Abeng, maka dijuallah sebahagian saham UTP. Tanjung Priok (unit usaha PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II) sebesar 225 miliar dolar amerika serikat dengan kontrak selama 20 tahun dengan komposisi saham 51% PT. Hutchison Port Holding dan Pemerintah (Pelindo II), Kopegmar sebesar 49% dengan luas lahan keseluruhan Iebih kurang 81 Hectare (UTPK I 72 Hektar dan DUTP II 9 Hektar) pada waktu itu. Kemudian status dan nama pun dirubah, kalau tadinya sebagai unit usaha dengan nama Unit Terminal Petikemas Tanjung Priok berubah menjadi PT. Jakarta International Container Terminal (JICT). Dengan perubahan status dan kepemimpinan yang didominasi Orang Asing itu, berubah pula tingkat kesejahteraan para karyawan PT. JICT jauh melampaui karyawan yang bekerja pada Pelindo II.

Kini 14 Februari tahun 2011 atau setelah dua belas tahun PT. JICT berjalan atau beroperasi, terjadi keanehan yang menggelitik kita semua, kalau tadinya lahan JICT I luasnya 72 hektar, kini telah bertambah menjadi 130 (seratus tiga puluh) Hektar; artinya ada penambahan lahan strategis itu digunakan PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) sebanyak 58 Hektar. Yang menjadi pertanyaan kita sebagai rakyat Indonesia, apakah dengan penambahan lahan seluas itu mempengaruhi atau merubah saham Pemerintah yang tadinya 49% menjadi 50% atau 51%%. Kalau tidak ada pengaruhnya pada saham Pemerintah, apakah lahan strategis tersebut disewa PT. JICT?, mengapa lahan strategis tersebut tidak dikelola oleh Cabang Pelabuhan Tanjung Priok saja, karena usaha penimbunan Petikemas dari tahun 2000 sampai saat ini
sangat menguntungkan. Kami sebagai mantan pengusaha yang telah berkecimpung di Pelabuhan Tanjung Priok sejak tahun tujuh puluhan mengetahui bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok sangat handal karena; SDM Pelindo II banyak yang berasal dari Perguruan Tinggi setingkat Akademi dan Sekolah Tinggi, jadi kami kira disini perlu dipertanyakan ada apa dibalik semua itu.
Karena masalah ini menyangkut harga lahan yang ratusan miliar, perlu diadakan pemeriksaan dari pihak KPK dan kejaksaan Agung untuk klarifikasi agar masyarakat pelabuhan tidak bertanya-tanya.

Pada tanggal 14 April 2010 terjadi tragedi berdarah di lahan makam Mbah Priok kelurahan Koja Utara, korban berjatuhan, dua orang Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOLPP) tewas mengenaskan dihajar masyarakat karena mencoba akan menggusur bangunan dan makam Mbah diareal lahan yang luasnya kurang dari sepuluh hektar. Masyarakat Jakarta Utara sudah cerdas, masyarakat sudah mengetahui bahwa pembebasan lahan tersebut pasti untuk kepentingan perusahaan asing (JICT) atau orang perorang yang akan mendapat komisi dari hasil pembebasan lahan tersebut. Sesudah selesai perang bharatayuda antara Satpol PP dengan masyarakat, orang yang tidak bertanggung jawab, mencoba mencari kesempatan hendak menjarah kantor TPK. Koja dan kantor PT. Graha Segara yang bersebelahan dengan lapangan TPK. KOJA. Tetapi rencana orang-orang (preman) tersebut gagal karena kantor TPK. KOJA dan kantor PT. Graha Segara sudah di jaga oleh satuan Polisi Polres 72, KP3 pelabuhan Tanjung Priok dibantu TNI Angkatan Laut.

Dari peristiwa itu Pemerintah dan Management Pelindo II harus sadar, masyarakat sekarang tidak dapat dibodohi lagi, mereka mengerti mana yang benar-benar untuk kepentingan Negara yang akan memakmurkan rakyat, dan yang mana untuk kepentingan Asing atau individualis. Kami yakin bila diadakan polling secara random misalnya diambil sampel dari beberapa propinsi di Indonesia yang berpendidikan SMU katas, hampir dapat dipastikan seluruh masyarakat akan memilih agar Terminal Petikemas kebanggaan Indonesia itu dikembalikan kepada Negara. Karena rakyat secara umum sudah mengetahui bahwa Terminal Container yang dikuasai JICT itu sebagai penghasil uang Dolar Amerika nomor satu di Indonesia. Kalaupun ada segelintir manusia yang menginginkan agar Terminal Container (JICT I dan JICT II) tetap dikuasai pemodal asing itu biasa, sejak jaman VOC sampai pemerintahan Hindia Belanda, bangsa Indonesia banyak yang berpihak kepada Belanda. Itu ditandai dengan memasang spanduk besar dengan pernyataan “siap mempertahankan Terminal JICT 2 bila diambil oleh Pemerintah (Pelindo II)”. Padahal maksud dari Management Pelindo II untuk mengoperasionalkan Terminal tersebut; “adalah digunakan untuk melayani Petikemas Interinsuler yang dimuat kapal-kapal berukuran feeder”, sementara Terminal JICT 2 telah dianggurkan oleh JICT selama 6 (enam) tahun, karena kapal yang tangani JICT adalah kapal Full Container Generasi ke 3, ke 4 dan Generasi ke 5 yang tidak memungkinkan untuk sandar di JICT 2 karena dirancang memang untuk melayani kapal Feeder.

Dari hasil Investigasi yang kami lakukan dengan menggunakan metoda wawancara dan penelitian langsung pada obyek, perlu KPK atau Kejaksaan Agung untuk memeriksa
perluasan lahan JICT I yang bertambah luas lebih kurang 70 Hektar dan mengapa pada Lahan sebelah Selatan PT. Graha Segara dibangun tanki-tanki kimia cair milik PT. Aneka Kimia Raya (AKR) bukankah perencanaan lahan itu sebagaimana yang disampaikan kepada rakyat penduduk Koja Utara akan digunakan untuk membangun Lapangan Penumpukan dan Penimbunan Petikemas terbesar di Asia Tenggara. ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar