Kamis, 28 Juni 2012

LANJUTAN SEBELUMNYA. ... PISAU BERMATA DUA

... Pada Mei 1877 Belanda memulai pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok. Pilihan jatuh pada tanjung Priok, karena lahan pendukung dan pengembangan pelabuhan lusa. Ketika itu lahan pelabuhan Tanjung Priok meliputi daerah Senen, Cempaka Putih, Rawa Badak sampai pesisir pantai Marunda dan Ancol Barat. Kemayoran pada waktu itu merupakan daerah perkebunan. Para pekerja perkebunan adalah para budak belian yang kian marak sejak jaman VOC. Pembangunan pelabuhan Tanjung Priok dimulai dari Kolam Pelabuhan Satu. Belanda membangun Kolam Pelabuhan Satu untuk mempercepat pemindahan kegiatan pelabuhan Sunda Kelapa (Pasar Ikan) ke pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Sunda Kelapa tidak dapat menampung arus kapal, karena keterbatasan infra struktur dan fasilitas. Pelaksana pembangunan adalah Ir. JA de Gelder dari departemen BOW (Departemen Pekerjaan Umum Belanda). Perencanaan Kolam Pelabuhan Satu dibuat oleh Ir. J.A.A. Waldrop. Pembangunan Pelabuhan Satu menelan biaya sebesar kurang lebih satu Gulden Belanda. Mula-mula dikerjakan bendungan penahan gelombang (break water). Bendungan penahan gelombang hingga kini masih berfungsi, dibangun secara convergrend yang menjorok yang menjorok ke laut sampai kedalaman - 12 Meter LWS (Lower Water Scale). Dengan demikian, kapal yang sandar di kade pelabuhan tidak diganggu gelombang laut karena lokasi pelabuhan berhadapan dengan laut lepas. Bendungan sebelah Barat sepanjang 1.765 meter dan bendungan sebelah Timur panjang 1.963 meter masih bertahan sampai sekarang. Berdasarkan konstruksi, dibutuhkan batu sebagai pemecah gelombang, batu pemecah gelombang, dibuat dari batu granit yang didatangkan dari Merak dengan perahu. Batu-batu disusun sedemikian rupa (menjorok ke laut) sehingga dapat bertahan ratusan tahun. Tanggul pemecah gelombang direhabilitasi pada tahun 1969 sampai tahun 1972. Pembangunan kolam pelabuhan Satu menggunakan peralatan yang sangat sederhana pada waktu itu dan melibatkan ribuan tenaga kerja. Mereka adalah budak belian dan orang buangan. Sejak abad tujuh belas, Batavia dikenal sebagai kota budak belian. Nasib para budak belian sangat memprihatinkan dan tidak menentu. Pekerjaan mereka terbilang berat, tidak ada perlindungan hukum dan perlakuan terhadap mereka terkadang sangat kejam. Akibatnya banyak budak belian meninggal dunia pada profesinya. Menurut laporan Haven Commisie Kraus de Jong, para pekerja dipaksa kerja siang dan malam. Mereka disiksa, dinista, akibatnya banyak yang meninggal dunia. Tidak mengherankan bila pembangunan kolam pelabuhan satu selama enam tahun hingga tahun 1883, menelan ribuan korban jiwa tenaga kerja yang meninggal. Setelah kolam pelabuhan satu rampung, seluruh kegiatan pelayanan kapal dan muat bongkar dipindahkan ke Pelabuhan Tanjung Priok. Sejak itu arus kunjungan kapal terus meningkat. Kolam pelabuhan Satu yang semula diprediksi akan mampu menampung arus kunjungan kapal dari berbagai negara dirasakan semakin kurang. Penyebabnya, karena keterbatasan fasilitas, membanjirnya arus kunjungan kapal karena terusan Suez di Mesir telah dibuka bagi jalur pelayaran dari Eropah menuju Asia tahun 1896. Kapal-Kapal berbondong-bondong datang ke Indonesia (Hindia Belanda) untuk membeli rempah-rempah. Ketika itu, nilai rempah-rempah seperti, cengkih, pala, lada, dan kulit manis sangat tinggi. Pada tahun 1912, pelabuhan Tanjung Priok dilanda kongesti. Kesibukan di pelabuhan mencapai puncaknya. Fasilitas pelabuhan tidak mampu menampung arus kunjungan kapal dan barang. Penundaan kapal yang akan masuk mencapai 85 unit kapal. Akibatnya, lanjut. ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar